Ada sesuatu di bawah kasurku. Aku
bisa merasakannya bergetar, bersuara, bahkan menangis. Aku ingin melihatnya
dengan mata kepalaku sendiri. Makhluk apa gerangan yang berada di bawah
kasurku?
Tapi aku takut.
Aku tahu bahwa makhluk itu adalah
seorang perempuan. Ya, aku yakin itu. Aku bisa mendengarnya dari suara isak
tangisnya. Suara tangisannya yang lirih, merintih, menyayat. Aku tidak tahu
kapan mimpi buruk ini dimulai. Tunggu sebentar, apakah semua ini hanya mimpi?
Tapi aku takut.
Apakah mungkin seseorang bisa
ketakutan dalam mimpinya sendiri?
Aku ingin keluar. Aku ingin pergi
dari kamar ini. Ingin rasanya melompat keluar dari kasurku, membuka lebar-lebar
pintu kamarku, dan langsung pergi menuju kamar Papa bunda. Aku tahu Papa bunda
bisa melindungiku dari makhluk jahanam ini.
Tapi aku takut.
Aku takut saat kakiku menyentuh
lantai, makhluk itu akan menyeretku, mengejarku, membawaku kedalam kegelapan
tak bernyawa. Pada akhirnya aku hanya bisa meringkuk ketakutan. Bersembunyi
dibalik kelambu. Menutup telingaku rapat-rapat ketika makhluk itu menangis.
Terisak.Bergerak. Bergetar tepat di bawah tubuhku. Namun tanpa terasa aku sudah
terlelap, saat matahari pagi tiba, makhluk itu pun menghilang bersama dengan
datangnya sinar matahari. Selalu seperti itu. Setiap hari.
Setiap senja datang aku kembali mengingat akan suara makhluk itu,
perempuan di bawah kasur yang selalu menjadi mimpi buruk waktu tidurku.
Matahari yang terbenam adalah sebuah ultimatum. Senja seakan menjadi sebuah
undangan bagi kegelapan yang sebentar lagi akan menghantui kamarku.
Senja hari, saat aku baru saja
pulang ke rumah, aku bisa mendengar suara Papa bunda yang sedang berbicara.
“Renata katanya ingin tidur lagi
sama kita, pa.” Kata bunda.
“Lagi? Kok akhir-akhir ini jadi
sering ya?” Ujar papa.
“Mimpi buruk mungkin, pa.
Anak-anak kan suka seperti itu.”
Sebenarnya aku tidak ingin tidur
lagi bersama papa bunda, aku sudah cukup besar untuk tidur sendiri.
Tapi aku takut
.
Aku ingin mencoba untuk berani.
Ya, betul sekali. Aku akan mencoba untuk berani. Aku tidak ingin menyusahkan
papa bunda. Aku pasti bisa.
Saat malam tiba. Jam dinding di kamarku
menunjukan pukul sepuluh. Suara itu belum juga terdengar. Aneh. Biasanya
makhluk itu sudah mulai terdengar saat ini. Jujur aku ingin bersyukur. Aku
ingin merasa lega. Tapi aku merasa janggal.
Akhirnya aku keluar dari
selimutku. Ada keberanian yang tidak lazim yang tiba-tiba keluar dari dalam
diriku. Mungkin rasa penasaran. Mungkin kebodohan. Entahlah. Saat itu aku beranjak
keluar dari kasur. Menyentuh kedua kakiku ke lantai. Begitu perlahan. Menunggu.
Menanti sesuatu untuk tiba-tiba keluar dari bawah kasur. Tapi tentu saja tidak
ada apa-apa di bawah kasur. Setelah mengumpulkan segenap keberanianku, aku akhirnya
melihat ke dalam kolong kasurku.
Tidak ada apa-apa.
Hanya ada beberapa kardus sepatu
yang sudah tidak terpakai. Haruskah aku merasa lega sekarang?
Tap. Tap. Tap.
Ada sebuah suara langkah kaki di
luar kamarku.
Tap.Tap.Tap.
Lebih kencang dari yang tadi. Tampaknya
ada yang berlari. Menjauh dari kamarku.
Keringat dingin mengalir dari
pelipisku. Aku menahan napas. Menelan ludah. Aku seharusnya kembali melompat ke
kasur dan bersembunyi dibalik selimut. Namun ada sesuatu yang menarik diriku.
Rasa penasaran yang mengalahkan semua ketakutan.
Akhirnya kubuka pintu kamarku.
Gelap. Satu-satunya sumber cahaya hanyalah lampu remang-remang dapur yang
terletak di ujung koridor. Sunyi. Satu-satunya suara yang kudengar hanyalah
suara jangkrik.
Aku berusaha menebak kemana suara langkah itu
pergi. Hingga akhirnya aku melihat pintu kamar papa bunda terbuka. Terbuka
cukup lebar untuk mengetaui bahwa ada yang baru saja masuk kesana. Mungkin papa
atau bunda. Mungkin bukan. Mungkin makhluk itu. Seharusnya aku kembali ke
kamarku. Seharusnya. Namun kaki ini membawaku masuk ke kamar papa bunda.
Suara itu lagi. Ya, suara itu.
Suara tangisan lirih. Getaran halus. Suara yang menghantui tidurku. Tepat di
bawah kasur papa bunda. Semua harus berakhir saat ini juga. Aku sudah lelah.
Aku ingin mengakhiri teror yang berkepanjangan ini.
Aku merunduk. Merangkak. Menatap
langsung pada kegelapan di kolong kasur papa bunda. Ada sepasang mata di balik
kegelapan. Aku merangkak mendekat. Ingin melihat lebih jelas. Lapar akan
kebenaran. Ada apa gerangan di balik kegelapan yang menatapku ini?
Semakin aku mendekat, suara
tangisan itu semakin jelas terdengar. Semakin keras. Semakin menyayat. Kurentangkan
tanganku untuk meraih siapapun yang ada dibalik kegelapan itu. Aku ingin
menariknya. Menggapainya. Menyeretnya. Mengeluarkannya.
“AAAAAAAAAH!”
“Renata?” Bunda terbangun. Dia
berusaha menggapai sesuatu. Menyentuh sesuatu yang seharusnya ada.“Kamu dimana,
sayang?”
Bunda akhirnya menengok ke bawah
kasur. Seorang anak perempuan merangkak keluar. Melompat memeluk Bunda.
“Kamu kenapa sayang?” Tanya
Bunda.
Anak perempuan itu menangis
tersedu-sedu.
“Ada hantu, Bunda.”
Bunda tersenyum, pelukannya makin
erat, tanggannya menepuk-nepuk punggung anak perempuan itu. Berusaha
menenangkannya.
“Hantunya sudah pergi, sayang. Kamu
enggak usah takut lagi, ya.” Kata Bunda. Suaranya begitu lembut. Seperti sebuah
lulabi.
Rupanya kami berdua salah sangka.
Dia mengira aku hantu. Aku mengira dia hantu. Mungkin salah satu dari kami
adalah hantu. Mungkin aku. Mungkin.