Minggu, 20 April 2014

Incognito

Ada sesuatu di bawah kasurku. Aku bisa merasakannya bergetar, bersuara, bahkan menangis. Aku ingin melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Makhluk apa gerangan yang berada di bawah kasurku?

Tapi aku takut.

Aku tahu bahwa makhluk itu adalah seorang perempuan. Ya, aku yakin itu. Aku bisa mendengarnya dari suara isak tangisnya. Suara tangisannya yang lirih, merintih, menyayat. Aku tidak tahu kapan mimpi buruk ini dimulai. Tunggu sebentar, apakah semua ini hanya mimpi?

Tapi aku takut.

Apakah mungkin seseorang bisa ketakutan dalam mimpinya sendiri?

Aku ingin keluar. Aku ingin pergi dari kamar ini. Ingin rasanya melompat keluar dari kasurku, membuka lebar-lebar pintu kamarku, dan langsung pergi menuju kamar Papa bunda. Aku tahu Papa bunda bisa melindungiku dari makhluk jahanam ini.

Tapi aku takut.

Aku takut saat kakiku menyentuh lantai, makhluk itu akan menyeretku, mengejarku, membawaku kedalam kegelapan tak bernyawa. Pada akhirnya aku hanya bisa meringkuk ketakutan. Bersembunyi dibalik kelambu. Menutup telingaku rapat-rapat ketika makhluk itu menangis. Terisak.Bergerak. Bergetar tepat di bawah tubuhku. Namun tanpa terasa aku sudah terlelap, saat matahari pagi tiba, makhluk itu pun menghilang bersama dengan datangnya sinar matahari. Selalu seperti itu. Setiap hari.

Setiap senja datang  aku kembali mengingat akan suara makhluk itu, perempuan di bawah kasur yang selalu menjadi mimpi buruk waktu tidurku. Matahari yang terbenam adalah sebuah ultimatum. Senja seakan menjadi sebuah undangan bagi kegelapan yang sebentar lagi akan menghantui kamarku.

Senja hari, saat aku baru saja pulang ke rumah, aku bisa mendengar suara Papa bunda yang sedang berbicara.

“Renata katanya ingin tidur lagi sama kita, pa.” Kata bunda.
“Lagi? Kok akhir-akhir ini jadi sering ya?” Ujar papa.
“Mimpi buruk mungkin, pa. Anak-anak kan suka seperti itu.”

Sebenarnya aku tidak ingin tidur lagi bersama papa bunda, aku sudah cukup besar untuk tidur sendiri.
Tapi aku takut
.
Aku ingin mencoba untuk berani. Ya, betul sekali. Aku akan mencoba untuk berani. Aku tidak ingin menyusahkan papa bunda. Aku pasti bisa.

Saat malam tiba. Jam dinding di kamarku menunjukan pukul sepuluh. Suara itu belum juga terdengar. Aneh. Biasanya makhluk itu sudah mulai terdengar saat ini. Jujur aku ingin bersyukur. Aku ingin merasa lega. Tapi aku merasa janggal.

Akhirnya aku keluar dari selimutku. Ada keberanian yang tidak lazim yang tiba-tiba keluar dari dalam diriku. Mungkin rasa penasaran. Mungkin kebodohan. Entahlah. Saat itu aku beranjak keluar dari kasur. Menyentuh kedua kakiku ke lantai. Begitu perlahan. Menunggu. Menanti sesuatu untuk tiba-tiba keluar dari bawah kasur. Tapi tentu saja tidak ada apa-apa di bawah kasur. Setelah mengumpulkan segenap keberanianku, aku akhirnya melihat ke dalam kolong kasurku.

Tidak ada apa-apa.

Hanya ada beberapa kardus sepatu yang sudah tidak terpakai. Haruskah aku merasa lega sekarang?

Tap. Tap. Tap.

Ada sebuah suara langkah kaki di luar kamarku.

Tap.Tap.Tap.

Lebih kencang dari yang tadi. Tampaknya ada yang berlari. Menjauh dari kamarku.

Keringat dingin mengalir dari pelipisku. Aku menahan napas. Menelan ludah. Aku seharusnya kembali melompat ke kasur dan bersembunyi dibalik selimut. Namun ada sesuatu yang menarik diriku. Rasa penasaran yang mengalahkan semua ketakutan.

Akhirnya kubuka pintu kamarku. Gelap. Satu-satunya sumber cahaya hanyalah lampu remang-remang dapur yang terletak di ujung koridor. Sunyi. Satu-satunya suara yang kudengar hanyalah suara jangkrik.

Aku berusaha menebak kemana suara langkah itu pergi. Hingga akhirnya aku melihat pintu kamar papa bunda terbuka. Terbuka cukup lebar untuk mengetaui bahwa ada yang baru saja masuk kesana. Mungkin papa atau bunda. Mungkin bukan. Mungkin makhluk itu. Seharusnya aku kembali ke kamarku. Seharusnya. Namun kaki ini membawaku masuk ke kamar papa bunda.

Suara itu lagi. Ya, suara itu. Suara tangisan lirih. Getaran halus. Suara yang menghantui tidurku. Tepat di bawah kasur papa bunda. Semua harus berakhir saat ini juga. Aku sudah lelah. Aku ingin mengakhiri teror yang berkepanjangan ini.

Aku merunduk. Merangkak. Menatap langsung pada kegelapan di kolong kasur papa bunda. Ada sepasang mata di balik kegelapan. Aku merangkak mendekat. Ingin melihat lebih jelas. Lapar akan kebenaran. Ada apa gerangan di balik kegelapan yang menatapku ini?

Semakin aku mendekat, suara tangisan itu semakin jelas terdengar. Semakin keras. Semakin menyayat. Kurentangkan tanganku untuk meraih siapapun yang ada dibalik kegelapan itu. Aku ingin menariknya. Menggapainya. Menyeretnya. Mengeluarkannya.

“AAAAAAAAAH!”

“Renata?” Bunda terbangun. Dia berusaha menggapai sesuatu. Menyentuh sesuatu yang seharusnya ada.“Kamu dimana, sayang?”

Bunda akhirnya menengok ke bawah kasur. Seorang anak perempuan merangkak keluar. Melompat memeluk Bunda.

“Kamu kenapa sayang?” Tanya Bunda.

Anak perempuan itu menangis tersedu-sedu.

“Ada hantu, Bunda.”

Bunda tersenyum, pelukannya makin erat, tanggannya menepuk-nepuk punggung anak perempuan itu. Berusaha menenangkannya.

“Hantunya sudah pergi, sayang. Kamu enggak usah takut lagi, ya.” Kata Bunda. Suaranya begitu lembut. Seperti sebuah lulabi.


Rupanya kami berdua salah sangka. Dia mengira aku hantu. Aku mengira dia hantu. Mungkin salah satu dari kami adalah hantu. Mungkin aku. Mungkin.