Jumat, 23 Agustus 2013

Kepulangan

Arya Wibawa, seorang anak SD berumur 7 tahun akan melakukan sebuah perjalanan terbesar dalam hidupnya.

Sepulang sekolah ibu guru Dian berpesan, "Arya, nanti di depan gerbang sekolah ada mas Jun. Tukang ojeg langganan ibu. Dia pakai motor bebek berwarna merah. Jaket hitam, dan helm berwarna putih."

Arya menelan ludahnya, bisakah dia menemukan mas jun?

Ibu guru Dian menyentuh pundak Arya, "Kamu bisa sendiri? Perlu diantar Budi?"

Budi adalah petugas kebersihan sekolah. Setia dengan jabatannya. Setia dengan ibu guru Dian.

Arya menggelengkan kepalanya, "Tidak usah bu guru, Arya ingin coba belajar sendiri."

Ibu guru Dian tersenyum, "Baiklah kalau begitu. Hati-hati di jalan ya, nak?"

Arya mengangguk, "Iya bu guru."

Akhirnya ibu guru Dian pergi meninggalkan Arya sendiri. Dia melihat kiri dan kanannya. Koridor sekolah sudah kosong melompong. Semua teman-temannya sudah pergi meninggalkan sekolah.

Arya akhirnya melangkah menyusuri koridor sekolah yang pekat oleh bau pembersih ruangan. Budi sang petugas kebersihan sekolah sedang melaksanakan pekerjaannya.

Di ujung koridor sekolah, cahaya matahari menyeruak ke dalam. Pintu gerbang sekolah sudah dekat.

Di halaman luar sekolah, masih ada beberapa murid yang sedang bermain. Petak umpet. Sepak bola.

Arya memandang murid-murid tersebut dengan pandangan iri. Dia juga ingin bermain. Tapi ibunya sudah memberinya ultimatum untuk pulang ke rumah.

"Kalau sampai jam satu siang kamu belum pulang ke rumah. Kamu enggak boleh main playstation selama seminggu."

Mengingatnya saja sudah membuat seluruh tubuh arya bergidik. Tidak ada playstation selama seminggu. Mimpi buruk.

Arya kemudian melangkahkan kakinya ke halaman luar sekolah yang sedikit berumput, tidak terurus. Dia memicingkan matanya. Mencari-cari sebuah sosok yang akan mengantarnya pulang. Mas jun, si tukang ojeg langganan ibu guru.

Gerbang sekolah menjulang tinggi di hadapannya. Pos satpam berdiri dengan kokoh disamping gerbang. Pak Wiryo, sang satpam sekolah tersenyum pada Arya.

"Belum dijemput, dek?" Tanya pak Wiryo.

"Saya lagi mencari mas jun, pak. Tukang ojeg langganan ibu guru." Jawab Arya.

"Oh, mas Jun. Sebentar saya panggilkan."

Beberapa saat kemudian pak Wiryo meneriakan nama mas Jun. Tiba-tiba sebuah sosok berjaket hitam dan berhelm putih datang menghampiri.

"Arya?" Kata mas jun.

"Iya." Balas Arya.

"Mau pulang sekarang?"

Arya melihat sosok mas Jun dengan seksama. Jaket hitam. Helm putih. Motornya dimana?

"Motor mas Jun dimana?"

"Motor saya disitu." Mas Jun kemudian menunjuk sebuah bebek berwarna merah yang sedang bertengger di pinggir pos satpam.

Tampaknya dia betul mas Jun.

"Pulang sekarang deh mas." Kata Arya.

Tidak lama kemudian Arya menaiki bebek merah mas Jun. Ini kali pertama Arya naik sepeda motor.

"Pegangan yang kuat ya." Kata mas Jun.

"Iya mas." Arya memegang sisi kiri dan kanan jaket kulit mas Jun.

Kemudian motor pun menyala, dan melaju dengan cepat di jalanan.

Jadi begini rasanya naik motor. Rasanya seperti terbang. Rasanya Arya ingin naik motor selamanya.

20 menit kemudian Arya tiba tepat di depan rumahnya.

"Makasih mas Jun, saya harus bayar berapa?" Tanya Arya.

"Oh tidak usah, sudah dibayar ibu Dian."

Lalu mas Jun pun pergi. Meninggalkan Arya yang termenung di depan rumahnya sendiri.

Ah, rasanya ingin naik motor lagi. Mungkin kapan-kapan.

Arya pun membuka gerbang rumahnya. Mengetuk pintu rumahnya dan berteriak:

"Ibu aku sudah pulaang!"

Petualangan Arya pun usai sudah.


Permintaan Terakhir

BAR

"Kamu masih ingat enggak?" Nada Taya begitu menggoda.

"Ingat apa?" Rian berpura-pura tenang, padahal jantungnya berdendang sepanjang malam.

"Waktu kuliah dulu." Taya terdiam sejenak, penasaran ingin melihat reaksi Rian.

Rian berusaha keras untuk tak acuh, berlagak menenggak sebotol bir, padahal tidak setetes-pun jatuh ke kerongkongannya.

"Kamu pernah jadi pacar aku." Keluar sudah kartu As Taya. 

Rian terdiam. Pura-pura mengingat. Padahal dia terlampau ingat.

"Masa sih?" Rian mengangkat sebelah alisnya, mengeluarkan satu-satunya gestur yang dia tahu untuk memperkokoh kepura-puraanya.

"Aku lupa." Botol bir pun Rian cium Kembali.  Setetes air pun bahkan tidak menyentuh lidahnya.

Taya tersenyum dalam diam. Dia tahu Rian sedang bercanda.

"Mau aku ingetin?" Kembali Taya menggoda. Wajahnya dia sengaja dekatkan ke wajah Rian. 

Rian tidak ingin menjauh. Dia tahu ini salah. Tapi apakah ini salah? Semua ini terasa benar. 

Terasa benar. Sayangnya kebenaran itu bukan untuk dirasa.

RING!

Ponsel Taya berbunyi. Dia segera melihat ponselnya.

"Suami" Kata Taya singkat.

Taya langsung menjauh pergi, mengangkat telpon dari suaminya. Pergi ke sebuah sudut yang tidak akan pernah terjangkau oleh Rian. Membentuk sebuah jarak tak kasat mata yang jauhnya bagai ratusan ribu tahun cahaya.

Tidak akan pernah.

PIP!

Sebuah pesan singkat mendarat di ponsel Rian.

"Sayang, kamu dimana? Kamu jadi ke kosan aku?"

Rian termenung melihat layar ponselnya yang statis. Kemudian jari jemarinya dengan luwes mengetik beberapa kata singkat.

"Sayang aku harus lembur hari ini. Aku ketemu kamu besok aja ya."

Rian tiba-tiba membenci dirinya sendiri. Tidak ada rasa bersalah sedikipun dalam hatinya.

PIP!

"Sayang, besok papa mama mau kesini. Mereka mau lihat gedung nikahannya bareng. Semangat ya sayang lemburnya. I love you."

Rian menghela napasnya.

"Pacar kamu?" Tanya Taya. Baru kembali dari sudut ruangan.

"CALON istri aku." Jawab Rian sambil tersenyum.

"Kamu bilang ke dia kamu lagi sama aku?" Taya sebenarnya tahu jawaban dari pertanyaannya. 

"Enggak. Kamu bilang ke suami kamu, kamu lagi sama aku?" 

Taya menggelengkan kepalanya.

Mereka berdua tertawa. Tertawa lepas. Seakan beban dunia tidak lagi menjadi masalah mereka berdua.

"This is so wrong." Ujar Rian.

"Apanya yang salah? Kita berdua kan cuma temen." 

Temen.

"Masa? Waktu kamu mutusin aku emang kamu pernah bilang: Kita temenan aja?"

"Hell, yes."

"Hell, no."

"Rian." Taya tahu ini adalah sebuah permainan yang harus dia menangkan, "Putus cinta itu adalah sebuah gestur universal. Sebuah perubahan dari yang dulu istimewa menjadi sesuatu yang biasa. Aku enggak harus bilang 'Let's just be friends' untuk mengkonfirmasi bahwa status kita yang sebelumnya pacaran berubah jadi--"

"Temen" Ujar Rian menginterupsi. 

Taya mengangguk setuju.

"Jadi temen itu enggak ngomong selama bertahun-tahun, enggak ngasih kabar selama bertahun-tahun, terus setelah kita secara enggak sengaja ketemu, tiba-tiba kita jadi temen. Convenient."

"What do you expect? Kita harus pukul-pukulan dulu baru kita temenan?"

"No. It's just. You make it sounds so simple."

Taya tertawa.

"Kenapa harus dibikin rumit?" 

"Karena buat aku, kamu itu enggak sesederhana itu."

Taya terdiam. Rian terdiam. Mereka berdua tahu apa artinya ini semua. Membuka kembali luka lama yang dulu pernah diam terpendam. Mungkin bukan hanya luka. Ada sedikit cinta yang mungkin tidak bisa padam.

"Kamu mau makan enggak?" Tanya Rian memecah kesunyian.

"Nah. Kebetulan. Aku juga lagi lapar banget."

"Dideket sini aku tahu tempat makan yang enak. Kamu suka pizza, kan?"

"Suka banget. Kamu kok masih inget sih aku suka pizza?" 

"I don't. Everybody loves pizza."

Taya memukul lengan Rian. Mereka berdua tertawa. Nostalgia merambat dengan lambat ke relung jiwa mereka. 

JALANAN

"Arya sama Laras nikah?" Rian terkejut setengah mati.

Taya tertawa, "Kamu kok kayak yang enggak percaya gitu sih?"

"Laras si kembang kampus. Arya si culun mampus." 

"Parah!" Tapi toh Taya tertawa.

Mereka berdua berjalan menyusuri trotoar. Berjalan di Jumat malam kota Jakarta yang ramai lancar.

"Anak angkatan kita tuh banyak banget yang udah nikah."  Jelas Taya.

"Termasuk kamu ya."

"Termasuk kamu juga kali."

"Aku kan belum official."

"Tetep aja."

Mereka berdua kembali terdiam. Ada damai yang tersembunyi, disetiap helai angin yang menyentuh nurani. Mereka berdua tahu ini takdir.

"Ba." Kata Taya. Ada bulir nostalgia di kata tersebut.

"Are you kidding?"

"Itu kan panggilan sayang aku buat kamu."

"Dahulu kala."

"5 tahun yang lalu. Enggak apa-apa kan aku ingin nostalgia sedikit, ba?"

"Nostalgia yang menyakitkan, bi."

Sebuah tawa pun akhirnya pecah diantara mereka berdua.

"Do you realize how ridiculous it sounds?" Mata Taya berair. Dia belum bisa sepenuhnya berhenti tertawa.

"Babi. Damn it. Siapa sih yang dulu bikin nama panggilan itu?" Rian mengusap air mata tawa yang berusaha keluar dari matanya. 

"Itu kamu yang bikin." Tuduh Taya.

"Masa? Aku udah lupa."

"Kamu apa sih yang inget. Kamu pasti lupa kita pernah pacaran berapa lama."

"3 Tahun. Kalau itu aku enggak akan pernah lupa."

"Kamu bakal lupa enggak ngundang aku ke nikahan kamu?"

"Biar kata aku inget juga aku enggak akan ngundang kamu."

Taya memukul lengan Rian.

"Kok kamu jahat sih?" 

"Kamu juga enggak ngundang aku ke nikahan kamu."

"Aku undang kamu."

"Mana ada."

"Lewat facebook."

"I don't use facebook anymore."

"Mana aku tahu!"

RESTORAN 

PIP!

"Sayang, kamu dimana? sudah pulang? sudah makan?"

"Baru beres, sayang. Aku sekarang lagi makan sama temen."

"Oke sayang. Kalau kamu sudah pulang kabarin ya."

Taya tersenyum simpul, "Romantis banget."

"Sirik ya enggak ditanyain sama suami kamu."

"Biasa aja. By the way, Kalian sudah pacaran berapa lama?"

"Dua Tahun."

"Dua Tahun"

"Kenapa emang?"

"Enggak apa-apa. She must be the one, then."

"Mungkin." 

"Kok masih 'mungkin'? You're about to marry her, you know."

"Maybe because I still think that you're the one." Ucapan Rian begitu singkat, padat, dan jelas. 

Taya terdiam. Tidak tahu harus berbuat apa. Mulutnya seakan disegel. Dibungkam oleh perkataan yang sunyi.

"Aku masih belum tahu kenapa dulu kamu pergi."

 Dalam setiap ucapannya Rian sedang mencari sesuatu. Mencari sebuah kunci untuk menutup lukanya yang sudah lama dibiarkan terbuka.

"Does it really matter?" Taya merasa terpojok. 

"It does."

"Kenapa?"

"Karena kamu cuma pergi gitu aja. Enggak ada alasan. Enggak ada angin. Enggak ada kabar. Kamu mungkin enggak sadar, tapi waktu itu kamu hancurin aku, Taya. You destroy me completely."

Taya masih terdiam. Belum tahu harus menjawab apa. Dia ingin berkata sesuatu, namun lidahnya kelu.

"Terus tiba-tiba kamu datang. Bertindak seolah enggak pernah terjadi apa-apa. Mungkin mudah buat kamu. Tapi buat aku itu siksaan. Kamu membuka  sesuatu yang dulu sempat aku ikhlasin. Aku ini sudah ikhlas, Taya. Tapi kamu datang, sekarang semua itu---ya hancur!"

"Kamu mau tahu kenapa aku pergi?"

"Yes. Please, tell me. Bebaskan gue dari penderitaan yang berkepanjangan ini." Kata Rian sambil mengangkat kedua tangannya ke udara, seperti sedang berdoa.

"Lebay." Taya tertawa.

Rian juga ikut tertawa.  "Harus ada humor disetiap momen hidup kita."

"True."

"Terus, kenapa kamu pergi?"

Taya terdiam sejenak, menimbang-nimbang emosi dan reaksi Rian yang tidak bisa diprediksi.

"5 tahun loh, Rian. Masa kamu belum move-on? Kamu pasti lagi bercanda ya?"

"5 tahun loh, Taya. Aku tahu kamu masih suka sama aku."

"Nothing changes. Of course, I still like you."

"The feeling is mutual. Then, why do you left?"

"Because it doesn't matter why I left! Sekarang yang penting kamu sama aku ada disini. Kita berdua temenan lagi. Kita berdua ngobrol lagi. We finally act like a goddamn human being again!"

"Kamu tahu kita berdua enggak bisa cuma jadi sekadar temen. We like each other too damn much."

Taya terdiam. Dia tahu Rian benar.

"Kita bisa enggak pura-pura aja temenan? Pretend that we're fine. Pretend that we're--you know, friends. Happy for each other. Itu permintaan terakhir aku sebagai mantan kamu." Kata Taya memecah kesunyian.

"Bisa. Tapi kita enggak bisa terus-terusan ketemu kaya gini. Nanti lama-lama malah kamu yang aku kawinin"

Taya sontak tertawa, "Setuju."

"Tanggal 14 Februari."

"Ada apa di hari valentine?"

"Tanggal nikahan aku. Kamu harus datang. Itu permintaan terakhir aku sebagai mantan kamu."

"Aku pasti datang."

RING!

Ponsel Taya berbunyi, "Suami" Kata Taya setengah berbisik.

Taya langsung menjauh pergi, mengangkat telpon dari suaminya. Pergi ke sebuah sudut yang tidak akan pernah terjangkau oleh Rian. Membentuk sebuah jarak tak kasat mata yang jauhnya bagai ratusan ribu tahun cahaya.

Rian merogoh sakunya, mengambil ponselnya dan mengetik beberapa kata di layar.

"Sayang, kamu sudah tidur?"

PIP!

Tidak berapa lama kemudian sebuah pesan mendarat di ponsel Rian.

"Belum sayang. Kenapa?"

"Aku kesana ya. Aku kangen."

"Lebay ih. Kita kan baru makan siang bareng tadi."

"Kalau aku enggak lebay. Kamu enggak akan mau jadi istri aku kan?"

"Hehe, iya deh. Kesini aja. Aku tunggu."

Taya kemudian kembali ke tempat duduknya.

"Calon istri?" Tanya Taya.

Rian mengangguk, "Shall we go?"

"Yes, we shall."

Mereke berdua pun pergi. Tidak ada ucap perpisahan. Tidak ada kata penuh perasaan.

Hari itu adalah hari ini.

Kamis, 22 Agustus 2013

Di Angka 12

"Saat jarum jam mendarat di angka 12 kamu bebas, Dul."

Mendarat di angka 12

Opsir Hamid.  Siapa sangka bahwa pria kekar berkumis baplang ini bisa begitu puitis sekaligus romantis?

"Keluarga kamu kemana, Dul?"

Mereka sudah enggak peduli sama saya pak bos.

Tapi mulutku entah kenapa tidak tega untuk mengeluarkan kata-kata tersebut.

"Katanya sih mau datang kesini, pak bos." Ucap lidahku yang bohong, "Tapi enggak tahu deh."

Opsir Hamid menatap wajahku dengan seksama, jari jemarinya bergerak luwes memilin kumisnya yang lebat.

"Dul" Kata Opsir Hamid.

"Iya, pak bos?"

"Jangan balik lagi kesini ya, Dul."

Aku mengangguk. Aku menahan keinginan kuat untuk menangis. Opsir Hamid sudah seperti ayahku sendiri. Membimbingku, membawaku keluar dari jurang yang gelap.

"Kamu orang baik, Dul. Nanti kamu pulang, kamu minta maaf sama keluarga kamu."

Aku mengangguk lagi. Mataku sudah basah.

"Keluarga itu mutiara. Jangan lupa."

Ah, jatuh sudah air mata.

7 JAM SEBELUM RESEPSI

Gerbang lapas Surya Sudirman akhirnya terbuka. Begitu perlahan. Seakan ingin menahanku untuk pulang.

12 Tahun. Jarang aku melihat pemandangan di balik gerbang lapas ini. Dunia diluar lapas adalah hal yang aneh bagiku. Seperti sebuah dunia lain yang tidak tersentuh oleh nalar. Planet aneh yang belum terjamah oleh pandangan.

Cahaya matahari menembus dengan liar dari balik gerbang. Bukan lagi gelap yang menungguku pulang.

Seorang pria melambaikan tangannya. Sebuah wajah familiar.

"Gimana rasanya jadi orang merdeka?" Tanya Edy. Selalu ceria seperti biasa.

"Rasanya luar biasa bung Edy." Jawabku sambil tersenyum simpul.

Aku langsung memeluk sahabatku. Hanya dia yang paling "rajin"  mengunjungiku. Setiap bulan dia selalu datang berkunjung. Tidak pernah lupa.

"Berarti sudah saatnya untuk kembali menumbuhkan rambutmu yang gundul itu toh?" Kata Edy sambil menepuk-nepuk kepalaku yang plontos.

"Rambut gundulku ini sudah menjadi semacam trademark, bung" Ujarku sambil tertawa kecil.

Sejenak Edy terdiam. Ada kata yang ingin dia ucapkan namun enggan dia utarakan.

"Kenapa bung?" Tanyaku.

"Nala menikah hari ini." Jawabnya singkat.

"Aku tahu." Ucapku. Tidak kalah singkat.

"Ada niat untuk datang?"

"Niat sih ada."

"Terus?"

"Ya enggak ada terus. Aku malu, bung."

"Kenapa harus malu?"

"Aku ini mantan napi. Aku cuma bakal membuat Nala malu."

Edy menggelengkan kepalanya.

"Kamu itu ayahnya Nala. Ayah macam apa yang tidak datang ke pernikahan anaknya?"

"12 tahun, bung. 12 tahun aku tidak bertemu Nala. Nala masih 10 tahun terakhir kali aku bertemu dengan dia. Nala juga pasti sudah lupa denganku."

"Itu kan karena mantan istrimu yang tidak memperbolehkan Nala bertemu denganmu."

"Sama saja, bung. Nala juga pasti malu."

Edy membungkam. Seakan menunggu aku untuk berubah pikiran. Tidak berapa lama kemudian dia merogoh sesuatu dari saku jaketnya. Ditangannya sekarang ada sebuah surat. Surat yang belum terbuka.

"Ini surat untukmu." Kata Edy.

"Dari siapa?"

"Anakmu." Jawab Edy singkat sambil menyerahkan surat itu ketanganku.

Edy benar. Ini adalah surat dari Nala untukku.

Aku terdiam. Tidak bisa bergerak. Tenggorokanku kering. Lidahku kelu. Ini adalah kata-kata yang diucapkan Nala padaku.

Aku perlahan membuka segelnya, kemudian mengeluarkan secarik kertas putih yang ada di dalamnya.

Apa yang ingin Nala katakan padaku?

Aku takut. Tapi akhirnya aku memberanikan diri untuk membaca rangkaian paragraf yang ada di surat ini:

Apa kabar pa?

Nala harap papa baik-baik saja. 

Pertama-tama Nala ingin minta maaf sama papa. Nala enggak pernah sekali pun mengunjungi papa disana. Semoga papa mengerti, Nala tidak pernah diijinkan sama mama untuk pergi bertemu papa.

Jujur, Nala kangen sama papa. 

Nala kangen sama sup ayam buatan papa. Masih ingat? Papa suka buatin Nala sup ayam saat Nala lagi sakit flu. Sampai sekarang belum ada yang bisa bikin sup ayam se-enak buatan papa.

Nala kangen sama cerita papa. Setiap malam sebelum Nala tidur, papa selalu cerita. Nala selalu ingat dengan petualangan si Fulan mengarungi 7 negara. Tahu enggak pa? Setiap papa cerita tentang si Fulan, Nala selalu mimpi sedang berpetualang dengan si Fulan. Mengalahkan naga, menyelamatkan putri. Cerita papa selalu bikin mimpi Nala jadi lebih indah.

Nala kangen sama suara papa. "Papa enggak bakal biarin cowok manapun deketin Nala." Masih ingat enggak pa, papa dulu suka ngomong itu? 

Nala kangen sama Jenggot papa yang biasa Nala mainin. 

Nala kangen sama tangan papa yang hangat.

Nala kangen pa.

Jujur, Nala sempat kecewa saat papa dipenjara. Nala sempat malu. 

Tapi Nala ingat bahwa enggak ada manusia yang sempurna. 

Nala enggak pernah lupa sama apa yang sudah papa perbuat. Tapi Nala yakin bahwa manusia bisa berubah. Nala yakin bahwa papa itu orang yang baik, papa pasti bisa berubah.

Nala sekarang sudah siapa untuk bertemu lagi dengan papa. 

Jangan lupa datang ke pernikahan Nala ya, pa? 

Nala tunggu.

Ah, jatuh sudah air mata.

4 JAM SEBELUM RESEPSI

"Saya ingin minta maaf, Nina." Ujarku.

Aku berada dirumahku yang dulu, sekarang sudah menjadi milik mantan istriku dan suaminya yang baru. Aku adalah tamu tidak diundang, lebih tepatnya tamu yang tidak diharapkan.

"Untuk apa minta maaf?" Kata mantan istriku. "Nasi sudah jadi bubur, mas."

Aku hanya bisa tertunduk diam. Aku tidak berani menatap wajah mantan istriku.

"Kamu pikir cuma kamu yang menderita, mas? Kamu tahu enggak neraka yang harus Nala dan saya lalui setelah kamu dipenjara?

Aku menggelengkan kepala. Masih tertunduk.

"Saya difitnah dan dicaci-maki, mas. Istri koruptor, pelacur uang haram, pengkhianat negara. Rumah ini hampir setiap hari dilempari batu, dicoret, diludahi, dikencingi. Banyak orang yang datang kesini mengancam untuk membakar rumah ini! Mereka bilang ini rumah hasil uang haram. Mereka bilang saya kaki tangan koruptor!"

Aku terdiam tidak bisa berkata apa-apa

"Wartawan datang kesini setiap hari, 2 minggu saya dan Nala enggak bisa keluar. Kami berdua ketakutan diteror oleh wartawan dan orang-orang."

Kemudian sunyi kembali. Aku masih belum berani mengangkat kepala.

"Saya masih bisa bertahan. Saya masih kuat. Tapi kamu tahu apa yang terjadi dengan Nala?"

Aku menggeleng.

"Nala setiap hari dihina, diejek, dicaci-maki di sekolahnya. Nala sampai takut pergi ke sekolah! Kamu tahu Nala pernah masuk rumah sakit karena kepalanya pernah dilempar batu? Umur Nala masih 10 tahun, mas! Dia enggak pantas menerima semua hal itu!

Seandainya aku bisa mengulang semua ini.

"Kamu enak bisa diam dipenjara, selamat dari serangan dunia luar. Kami mas yang harus menjalani siksaan! Siksaan yang bahkan bukan kami sendiri yang perbuat!"

Aku kembali menangis. Tidak tahan mendengar semua ini.

"Saya enggak butuh permintaan maaf dari kamu. Saya sudah ikhlas. Kalau kamu mau minta maaf, minta maaf sana sama Nala."

Seandainya aku bisa kembali. Seandainya.

2 JAM SEBELUM RESEPSI

"Iya pa, Nala maafin." Kata Nala sambil tersenyum.

Aku bingung. Semudah itu dia memaafkan diriku.

"Kenapa, Nala?" Tanyaku.

"Kenapa apanya, pa?"

"Kenapa kamu mudah sekali memaafkan papa?"

Nala kembali tersenyum.

"Kenapa harus sulit?"

Aku tidak tahu harus menjawab apa.

"Awalnya memang susah, pa. Semua orang jadi benci dan jahat sama Nala. Setiap hari, Nala takut pergi ke sekolah. Setiap pulang sekolah pasti Nala selalu nangis. Dulu Nala benci banget sama papa. Papa yang bikin hidup Nala jadi menderita. Tapi lama kelamaan semua kembali biasa. Nala terbiasa dengan semua cacian dan makian, Nala terbiasa dengan kesendirian, Nala jadi terbiasa sama semua hal."

"Kamu enggak pantas dapat semua perlakuan itu, Nala."

"Betul. Tapi Nala enggak punya pilihan. Nala harus bertahan"

Aku kembali tertunduk. Aku merasa bersalah luar biasa.

"Enggak ada yang sia-sia di dunia, pa. Justru terkadang Nala bersyukur, berkat perlakuan orang-orang sama Nala. Nala jadi orang yang kuat. Selalu ada makna dan pelajaran dalam semua hal. "

Nala menyentuh pundakku perlahan.

"Sekarang yang penting papa sudah kembali. Sekarang kita bisa mengulang lagi semua dari awal."

Nala tersenyum Aku menangis.

"Maafin papa, Nala" Kataku.sambil menangis.

"Iya pa, Nala maafin."

Nala pun kembali tersenyum.


Rabu, 21 Agustus 2013

Potret Ibunda

PAGI HARI

Malam ini jangan keluar!" Jerit Yono. Dia berlari-lari di sepanjang koridor bangsal, berteriak mengucapkan hal yang sama.

 "MALAM INI JANGAN KELUAR!"

Aku tahu. Berisik.

Yono tiba-tiba berhenti mendadak di depan kamar nomor tiga belas. Dia berjalan mendekati pintu kamar tersebut.

"Tidak. Kamu pasti belum tahu. Yono tahu kamu belum tahu. Kamu pasti belum tahu kan?"

Yono memang memiliki kemampuan yang misterius. Dia bisa membaca pikiran orang.

"Aku tahu, Yono. Bunda pulang hari ini. Ada inspeksi. Kita enggak boleh main keluar!"

Yono kemudian menggedor pintu kamar nomor tiga belas. BUM! BUM! BUM!

"Kamu salah! Yono yang benar! Yono yang benar!" Ejek Yono.

Berisik.

"Aku benar YONO! IBUNDA PULANG HARI INI!!"

Yono malah makin menjadi-jadi. "SA---LAAAAAAAH!"

Kucincang juga ini orang!

Kemudian Jarwo membuka pintu kamarnya. Kesal. Yono seketika lari menyadari bahwa nyawanya sedang terancam.

Jarwo berlari mengejar Yono. Tapi Yono berlari lebih kencang dari dari Jarwo. Yono malah makin mengejek Jarwo.

"Jarwo salah~Jarwo salah~Jarwo salah!"

"KUCINCAAANG KAAU!"

Faktanya, Jarwo memang sudah mencincang tiga belas orang. Tapi Yono tidak akan pernah menjadi korbannya yang ke empat belas.

RAPAT

"Jadi malam ini bunda akan datang" Kapten berlagak serius di atas podium yang terbuat dari tumpukan kardus. Seragam tentaranya sengaja di cuci dari jauh hari agar dia bisa tampil keren hari ini. Tidak luput, sebuah helm tentara berwarna hijau dia pakai, lengkap dengan coretan coreng hitam di muka ala tentara. Tidak lupa, sebuah sepatu bot yang kebesaran, serta medali yang terbuat dari stiker hadiah permen karet.

"Anda terlihat tampan hari ini KOMANDAN!" Ujar Komar sambil memberi hormat pada sang kapten.

"KAPTEN!" Jerit Kapten membenarkan.

"Anda terlihat tampan hari ini KOMANDAN KAPTEN!"  Komar tersenyum lebar. Memamerkan giginya yang terbuat dari emas murni.

"KAP--Ah, sudahlah!" Kapten berdeham sedikit. Ehem! Kemudian melanjutkan:  "Kita sudah merencanakan ini sejak lama. Saya akan memanggil satu persatu dari kalian. Saya akan sebutkan nama. Kalian sebutkan peran kalian masing-masing. Mengerti?"

"MENGERTI!"

Semuanya kompak.

Kemudian Kapten merogoh sakunya dan mengambil sebuah catatan kecil. Dia membuka catatan tersebut dan membolak-balik halaman demi halaman hingga akhirnya dia berhenti. Kapten berdeham lagi. Ehem!

"Baiklah, saya akan sebutkan nama pertama: RAHMAT!"

"HADIR KAPTEN!" Jawab Rahmat dengan semangat. Rambutnya yang keribo mirip pohon beringin. bergoyang-goyang tertiup kipas angin.

"Peran kamu apa, Mamat? Sebutkan peranmu!" Kata Kapten tidak sabar.

"HADIR KAPTEEN!"

"SEBUTKAN PERAN, GOB--"

Komar mengacungkan tangannya ke udara.

"Interupsi KOMANDAN KAPTEN!"

"KAP--AH, apa Komar !?"

"Peran Mamat adalah untuk hadir, KOMANDAN KAPTEN!"

"Ap--Oh iya." Kemudian Kapten berdeham lagi. Ehem!

"Siapa saja yang perannya disini hanya untuk hadir?"

Kemudian belasan orang mengacungkan tangannya ke udara.

"Oh baiklah. Kalau begitu yang memiliki peran selain hadir disini hanya ada 4 orang. KOMAR!"

"MEMATIKAN GENERATOR LISTRIK!" Ujar KOMAR bersemangat.

"BAGUS! Lanjut, ASEP--"

Jarwo mengacungkan lengannya ke udara.

"Interupsi KAPTEN!"

Kapten menepuk jidatnya. "Iya, Jarwo?"

"Absen saya seharusnya setelah, Komar. Kenapa malah Asep yang dipanggil?"

"Baiklah. Peran kamu apa, Jarwo?"

"MENCINCANG ORANG KAPTEN!"

Kapten nyaris pingsan di tempat. "PERAN KAMU UNTUK MENGANTAR IBUNDA, JARWO!"

"SIAP KAPP--hah? Saya tidak mencincang orang?"

Kapten menggelengkan kepalanya.

"Oh, baiklah."

Kapten menghela napas panjang. "Baiklah, lanjut. ASEP!"

Asep berdiri tegak dan hormat. "MENGALIHKAN PERAWAT!"

"BAGU--"

"MEMBERI SINYAL, KAPTEN!" Jerit Yono.

Semua hening. Kapten bingung.

"Kamu belum dipanggil, Yono." Ujar Yono sambil tersenyum.

Semua bingung. Kapten makin bingung.

"Yono bisa membaca pikiran ornag." Kata Komar sambil berbisik memecah kesunyian.

"OOOH."

Semua kompak.

Kapten kembali berdeham. Ehem!

"Baiklah. Untuk mempersingkat waktu. Maka saya akan sudahi rapat hari ini. Silahkan kembali ke pos masing-masing!"

"SIAP KAPTEN!"

EKSEKUSI

Jadi malam ini. Ada sebuah rencana yang sudah direncanakan dengan matang. Matang seperti telor rebus yang dimasak seratus derajat celsius.

Ibunda sudah datang. Mobil mercedes benz berwarna hitam. Diparkir di pojok lahan dekat pos satpam.

Itu Ibunda.

Para perawat yang berpakaian putih-putih seperti cat kamarku yang putih-putih sedang berjaga di depan pintu.Bersiap menyambut ibunda.

Sudah saatnya menyalakan sinyal yang pertama. Aku naik tangga ke atas balkon yang menghadap ke Lobby.

"AUUUUUUU!"

Auman serigala favoritku!

"Siapa itu?" Tanya perawat Johan.

"Paling si Yono." Balas perawat Leo.

Tepat sekali perawat Leo! Aku mengaum tapi bukan auman biasa. Aku mengaum untuk menjalankan sebuah rencana.

RENCANA 1 - PENGALIHAN PERHATIAN

"AUUUUUUU!"

Oh, itu sinyal dari si Yono. Saatnya menjalankan rencana pertama.

Asep berlari keluar dari ruang rekreasi. Dia mengintip dengan hati-hati ke arah para perawat yang sedang berbaris di lobby.

Semua ada disana. Baiklah.

Asep memeriksa sepatunya, takut-takut ada yang cacat. Dia juga melakukan pemanasan dan peregangan selama beberapa menit. Agar dia bisa berlari dengan luwes dan leluasa.

Aku SIAP!

Kemudian Asep merogoh sakunya dan menggenggam puluhan petasan kecil di tangannya.

"HEI JOHAN!" Jerit Asep.

Perawat Johan melihat ke arah Asep.

"MAKAN NIH!" Asep kemudian melemparkan semua petasan tersebut ke arah perawat Johan.

DOR! DOR! DOR!

Suara ribut dari petasan meledak-ledak di tengah-tengah lobby. Membuat para perawat panik.

"SIALAN!"

Para perawat  kemudian berlari mengejar Asep. Para perawat tidak akan pernah bisa menangkap Asep. Beberapa tahun sebelum Asep menembak mati istri dan kedua anaknya. Asep adalah mantan atlet pelari marathon juara Olympiade.

RENCANA II - MEMATIKAN GENERATOR

Pintu lobby terbuka, ibunda masuk hanya untuk menyadari bahwa tidak ada para perawat yang menyambutnya.

"Loh, tumben." Kata ibunda.

"GUK! GUK! GUK!" Yono menggonggong seperti Anjing.

Bunda tersenyum menyadari suara familiar itu, "Yono, itu pasti kamu. Dasar anak nakal."

Komar juga tersenyum menyadari suara familiar itu, "Ah, itu si Yono. Matiin lampu dulu!"

Di ruang bawah tanah, Komar mematikan generator listrik.

ZAP!

Lampu mati.

Semua begitu gelap, Komar pun berlari keluar dari ruang bawah tanah. Sungguh aneh. Dahulu Komar sangat menyukai kegelapan, karena di dalam kegelapan Komar bisa dengan bebas memperkosa para perempuan muda yang diculiknya.

Sekarang Komar benci dengan gelap.

Ini semua berkat Ibunda.

RENCANA III - MENCULIK IBUNDA

"Mati lampu?" Kata ibunda. "Johan! Reno! Dimana anak-anak itu?"

"MI!MO!MI!MO!MI!MO!" Yono menirukan suara ambulans.

"Hati-hati, Yono. Lampu mati! Jangan lari-lari di lantai 2 nanti kamu jatuh!"

Tiba-tiba sesosok pria bertubuh besar terlihat membawa sebuah lampu senter yang terang benderang, menyinari lobby yang diselimuti kegelapan.

"Jarwo?" Tanya ibunda.

"Bunda. Saya disini untuk mencinca---maksud saya, menculik bunda." Kata Jarwo

Ibunda tertawa kecil, "Menculik? Kamu mau menculik bunda kemana, Jarwo?"

"Ke ruang rekreasi, bunda."

"Oke, ayo kita kesana." Kata bunda tersenyum.

Kemudian mereka berdua pun berjalan ke ruang rekreasi.

RENCANA TERAKHIR - POTRET IBUNDA

JEPRET!

Sebuah kilatan cahaya Kamera berkilap menyinari ruang rekreasi.

"SELAMAT ULANG TAHUN IBUNDA!"

Semua pasien  rumah sakit jiwa harapan bunda ada disana.

Momennya pun sangat pas, generator cadangan akhirnya menyala dan kembali menerangi seisi rumah sakit.

Kapten dengan lagaknya yang sok serius membawa kue ulang tahun ke hadapan Ibunda.

"Selamat ulang tahun, bun." Kata Kapten, sok keren.

Ibunda terharu meneteskan air mata.

"Oh, anak-anakku." Bunda tidak bisa berkata-kata.

"TIUP LILINNYA~TIUP LILINNYA!"

"Siapa yang membuat kue ini?" Tanya Bunda sambil melihat kue ulang tahunnya yang berbentuk kepala manusia. Kepala ibunda.

Marisa mengacungkan tangannya sambil tersenyum malu-malu. Marisa dulu adalah seorang koki...yang hobi memasak manusia.

Ibunda semakin terharu. Beberapa tahun yang lalu, pasien-pasien dirumah sakit ini adalah pasien yang terancam hukuman mati. Dengan kesabaran dan kasih sayang, ibunda berhasil merubah pasien-pasien di rumah sakit ini hingga menjadi kumpulan manusia yang berguna dan penuh cinta.

"Terima kasih ya anak-anak" Kata Yono.

Semua tiba-tiba hening memandang Yono. Ibunda tersenyum sambil berbisik memecah kesunyian: "Yono bisa membaca pikiran orang."



Selasa, 20 Agustus 2013

Pengantar Pesan

DUNIA BAWAH

"Apa hari ini banyak yang mati?"

Aku tidak mengerti selera humor Hades. Ribuan tahun di dunia bawah membuatnya korslet. Ini adalah dunia kematian, tentu saja banyak yang mati.

"Seperti biasa, bos. Banyak." Ujarku mengoper basa-basi. "Basi". Memang banyak mayat basi sih disini.

"Kerja bagus." Balas Hades. Rambutnya yang berapi-api tampak berkobar lebih ganas dari biasanya. Ada yang aneh.

"Janus" Hades melayang mendekatiku dengan anggun. "Aku ingin meminta tolong padamu."

Charon  pernah memperingatiku soal ini. Jika sang penguasa kematian meminta tolong, dirimu akan celaka. Tapi bagaimana mungkin aku menolak? Dia adalah bosku.  Jika aku menolak, mungkin aku akan dijadikan sarapan Cerberus.

Oh, Zeus yang agung, tampaknya aku tidak punya pilihan.

"Meminta tolong apa bos?" Kataku sambil menelan ludah.

"Begini.." Hades melayang mengitariku dengan perlahan, jubahnya yang hitam berkibar dengan beringas.

"Ditanganku ini--" Hades membuka telapak tangannya ke udara dan sebuah perkamen tiba-tiba muncul. "Ada sebuah pesan yang aku ingan kau antar."

"Pesan? Tapi pekerjaanku----" Hades tiba-tiba menyentuh bibirku dengan telunjuknya yang terbuat dari tulang.

"Ah, pekerjaan. Sungguh sebuah dedikasi yang luar biasa, betul? Katakan padaku, apa pekerjaanmu disini?"

Aku berkeringat dingin meski tempat ini seharusnya adalah tempat paling panas di seluruh alam.

"Aku adalah seorang akuntan. Akuntan jiwa. Aku menghitu--"

"Seorang AKUNTAN." Kata Hades sambil bertepuk tangan sendiri. Dia memang terkenal karena sifatnya yang begitu teatrikal dan dramatis. Kemudian dia mendekatkan wajahnya padaku, begitu dekat, sehingga hidungnya yang besar dan lancip menusuk dahiku..

"Aku tidak peduli pada pekerjaanmu. AKUNTAN. Kau akan mengirimkan pesan ini pada Rhadamantus ke Elysium. SEKARANG. JUGA. MENGERTI?" Ketika Hades mengucapkan 3 kata terakhirnya, api menyembur dari mulutnya, membuat sebagian mukaku gosong.

"Meng---mengerti." Ucapku sambil terbatuk-batuk.

"Bagus. Berangkatlah sekarang. Biar Carnasus dari distrik reinkarnasi yang mengurus pembukuan jiwa disini." Kemudian Hades melayang meninggalkanku yang masih berusaha mengeluarkan semua asap hitam dari tenggorokanku.

Oh, Poseidon yang agung. Bahkan Olympus masih sangat dekat jika dibandingkan dengan Elysium. Ini akan menjadi perjalanan yang panjang.

OLYMPUS

"Janus?" Tanya Zeus sambil mengerenyitkan dahinya.

"Janus" Balas Poseidon acuh tak acuh.

"Siapa dia?"

"Entahlah. Salah satu petugas dunia bawah."

"Tunggu sebentar. Hades mempercayakan surat pensiun kita pada seseorang yang tidak dikenal?"

Poseidon hanya mengangguk sambil menyeruput segelas Nectar.

"Apa kau tidak khawatir?"

"Kenapa kita harus khawatir?"

Zeus menggelengkan kepalanya. Kesal.

"Surat pensiun. Poseidon. Itu adalah surat yang akan mengantarkan kita untuk hidup bahagia di Elysium selamanya. Bebas dari pekerjaan mengawasi umat manusia untuk ratusan--bahkan JUTAAN AEON ke depan!"

Poseidon hanya mengangkat bahu, dia tampak sibuk mengunyah kalkun.

"Ayolah. Selama ribuan tahun apakah kau tidak lelah terus-terusan mengawasi manusia? Menjawab doa manusia? Menyelesaikan masalah-masalah manusia yang itu-itu saja? Perang, kemiskinan, populasi, kematian, kehidupan. RIBUAN SIKLUS! Apa kau tidak lelah?"

"Kakakku tersayang." Poseidon kemudian mengelap mulutnya yang dipenuhi dengan saus. "Tentu saja aku lelah. Tapi aku tidak tahu mengapa kita harus khawatir. Itu hanyalah sebuah surat. Jika hilang kita bisa membuatnya lagi."

"Oh, jangan bodoh Poseidon. Surat itu bukanlah surat biasa. Aku membutuhkan izin Nyx untuk membuat surat itu. Nyx hanya bisa ditemui beberapa ribu tahun sekali!"

"Apa kita tidak bisa membuat surat itu sendiri?"

"Bisa. Jika kita ingin dimakan oleh Nyx. Aku tidak ingin menghabiskan hidupku di perut seseorang lagi untuk yang kedua kalinya."

"Dimakan oleh Nyx? Demi para dewa, kita adalah dewa!"

Zeus menghela napasnya. "Di atas langit masih ada langit wahai adikku yang bodoh. Apa kau sudah lupa peraturan langit yang diajarkan oleh ibu?"

Poseidon terdiam. Berpikir. "Aku lupa."

"Oh, lupakan saja!"

"Tunggu sebentar, kalau surat itu begitu penting, kenapa kita tidak menyuruh Hermes saja?"

"Elysium berada diluar pengaruh kekuasaan Olympus. Jaringan Hermes tidak bisa menggapai Elysium. Aku tahu ini, maka dari itu aku menyuruh Hades untuk mengirimnya. Hanya Hades yang bisa leluasa pergi, karena Elysium adalah salah satu bagian dari dunia bawah."

"Ah, si bodoh itu pasti sedang sibuk menggagahi Persephone. Kalau begitu kenapa kau tidak menyuruh aku?"

"Jika aku menyuruhmu pergi maka akan ada ribuan pelaut dan nelayan yang akan mati. Hades pasti akan protes karena dunia bawah akan menjadi penuh sesak. Sudah kubilang bahwa Elysium berada di luar pengaruh kekuasaan Olympus.

"Kalau begitu kenapa tidak kau saja yang pergi?"

"Jika aku pergi dari Olympus, maka Hades atau Kau pasti akan berusaha merebutnya dariku."

"Yang benar saja, aku tidak akan pernah melakukan perbuatan itu."

Zeus mengangkat sebelah alisnya. "Benarkah?"

Poseidon hanya bisa terdiam. Dia lupa bahwa Zeus bisa melihat kedalaman hati dan pikiran semua makhluk.

OKEANOS

Sungguh konyol. Surat PENSIUN?

Para dewa memang mahkluk paling egois sejagad raya. Mereka ingin melepaskan tanggung jawab begitu saja setelah ribuan tahun berkuasa?

Jika para dewa pergi, siapa yang akan mengatur cuaca, keamanan laut, dan kesuburan tanah? Para manusia akan mati konyol!

Oh, aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi jika tidak ada Hades yang mengatur dunia bawah. Lalu lintas jiwa bisa tidak terkendali. Bisa-bisa yang mati akan berjalan ke dunia yang masih hidup! Ini gawat!

Aku berhenti mengayuh perahuku yang menyedihkan ini. Perahuku bahkan tidak pantas untuk dipakai melaut. Masa perahu yang dipakai untuk mengantar para jiwa ke dunia bawah dipakai untuk melaut? Yang benar saja!

Tunggu. Tapi jika aku tidak mengantarkan surat ini, aku sudah pasti akan menjadi makanan Cerberus untuk ribuan tahun ke depan. Ini gawat! Aku harus bagaimana?

Ah. Sebelum aku berangkat mengarungi Okeanos aku sempat mendengar beberapa jiwa yang masih segar (baru mati) mengatakan bahwa Heracles sedang berada di Thrasia.

Melihat posisiku yang sekarang sebenarnya aku cukup dekat ke Thrasia. Aku tinggal berputar sedikit ke selat Gnosos, dari sana aku seharusnya sudah bisa melihat Thrasia.

Baiklah. Aku akan menemui Heracles. Dia adalah pahlawan paling hebat di seluruh dunia. Dia pasti tahu apa yang seharusnya dilakukan.

DUNIA BAWAH

"Seperti biasa kau selalu melebih-lebihkan masalah." Kata Hades dengan tak acuh. Dia mengenakan kacamata bacanya dan kembali membaca 'Odyssey' karya Homer.

"Selalu melebih-lebihkan masalah?" Ujar Zeus.

"Tepat sekali. Ketika Cronus dan para Titan menyerang Olympus siapa yang panik dan bilang bahwa para dewa akan musnah? Kau. Ternyata Cronus dan para Titan bahkan terlalu tua untuk bisa memanjat kaki gunung Olympus. Kita menang mudah."

"Itu hanya sekali. Waktu itu saja"

"Sekali?" Hades kemudian menutup bukunya. "Ketika tiba-tiba ada perang di seluruh dunia secara serentak. Kau panik dan bilang bahwa manusia sudah jadi gila. Kau bersikeras bahwa seluruh manusia harus diciptakan ulang. Ternyata perang tersebut bahkan bukan salah manusia. Rupanya anakmu yang sinting, si Ares lah yang menyebabkan semua umat manusia menjadi gila perang."

"Itu..."

"Mau aku sebutkan lebih banyak lagi?"

Zeus pun terdiam.

THRASIA

"Biarkanlah mereka pensiun." Kata Heracles, sambil mengunyah ayam. "Kau terlalu meremehkan umat manusia, iblis."

Aku bingung. Heracles adalah seorang pahlawan. Seharusnya dia melindungi kepentingan manusia.

"Tapi, tanpa para dewa---"

"Lihatlah di sekelilingmu, iblis. Siapa yang membangun kota yang megah ini? Para dewa? Jangan bercanda. Manusia yang membuat semua ini. Manusia yang menciptakan kapal. Manusia yang berternak sapi. Manusia yang menanam pepohonan dan padi. Manusia yang menciptakan obat-obatan. Manusia yang membangun kokoh setiap bebatuan yang ada di kota ini."

"Tapi---"

"Prometheus melanggar peraturan para dewa dan memberikan segenggam api pada umat manusia. Dari sebuah api kita menciptakan sebuah peradaban, sebuah kehidupan. Api yang diberikan Prometheus adalah sebuah lambang kemerdekaan, sebuah tanda bahwa manusia bisa menciptakan kehebatan dengan tangan kita sendiri. Umat manusia telah melewati banyak ujian. dan setiap ujian hanya akan membuat kami lebih kuat. Satu lagi ujian tidak akan ada bedanya bagi kami."

Heracles tersenyum.

"Biarkanlah mereka pensiun, mereka sudah hidup cukup lama, biarkan mereka beristirahat."

Aku terdiam. Heracles mungkin memang benar.

"Kau adalah seorang iblis. Kenapa kau begitu peduli pada umat manusia?"

"Setiap hari aku melihat manusia datang dan pergi. Aku melihat seluruh kehidupan mereka melalui jiwa mereka. Selama ribuan tahun aku melihatnya, akhirnya aku bersimpati pada umat kalian, aku merasakan dan mengerti semua derita dan bahagia kalian.

Heracles kembali tersenyum.

"Kami akan baik-baik saja. Jangan khawatir."

Senin, 19 Agustus 2013

Menulis Takdir

Bandung, 17 Februari 2013

Dear Nadian,

Mungkin saat ini kamu belum menyadari, bahwa di setiap butiran oksigen yang kamu hirup, ada bulir-bulir takdir yang akan membuatmu takjub. Tangan Tuhan begitu dekat, menyentuhmu bagai embun pagi hari yang pekat. Bukan janji semata, ketika Tuhan berkata, bahwa Dia lebih dekat dari urat nadi kita. Kamu akan tahu. Bukan saat ini, tapi suatu saat nanti.

Tahun ini, di tanggal ini, kamu akan berumur 11 tahun. Kamu akan duduk di bangku SMP. Kamu akan mulai merajut sebuah cerita, menulis kisah cinta, yang akan dikenang sampai kamu menutup mata. Sampaikan salamku pada ayah bunda. Bersabarlah dengan mereka, karena tanpa cinta ayah bunda, tidak akan kamu temukan cahaya, yang akan membimbingmu menuju impian dan citamu nanti.

Aku hanya bisa mengucap selamat ulang tahun, melalui secarik kertas lama, yang baru akan kamu baca saat takdir mulai membuka mata. 

Ah, sungguh sayang. Saat ini bahkan kita tidak tahu bahwa kita pernah bertemu. Kita berdua tidak akan pernah ingat. Saat upacara penerimaan siswa baru, aku berbaris tepat disampingmu. 

Nadian, seandainya kamu tahu betapa indahnya semesta yang kamu pijak.

Kamu akan tahu. Bukan saat ini, tapi suatu saat nanti.

Happy Birthday.

Your Beloved,


Adrian.

Bandung, 20 Juli 2017

Dear Nadian,

Sadarkah kamu bahwa kita pernah bertemu?

Hari ini, butiran hujan berjatuhan menyentuh rerumputan. Seperti biasa, kamu sedang duduk di pojok ruangan, menyeruput coklat panasmu yang nyaman. Kamu mulai tersenyum ketika suara hujan mulai terdengar. Betapa gembira dirimu saat hujan tiba. Matamu menerawang ke luar jendela, mengamati setiap butiran hujan di udara. 

Sadarkah kamu bahwa aku memperhatikan kamu?

Rambutmu yang coklat kepirangam, kacamatamu yang tebal, sepatu ketsmu yang kebesaran, jaket pinkmu yang kekecilan, dan tentu saja senyummu yang menawan, seperti orang gila yang sedang kasmaran.

Ah, seandainya kamu melihat penampilanmu saat itu. Kamu  pasti akan ikut tertawa denganku. Maafkan aku yang saat itu tertawa, karena saat itu aku belum tahu bahwa takdir akan mempersatukan kita.

Your Beloved,


Adrian.

Bandung, 17 Februari 2019

Dear Nadian,

Gravitasi hanyalah ilusi. Sama seperti hati yang selalu mencari arti. Mungkin gravitasi yang menarik aku padamu. Mungkin hatiku yang diam-diam selalu mencarimu. Mungkin gravitasi tidak pernah ada, tapi dimensi yang saat ini memisahkan kita sangatlah nyata.

Kamu yang sedang berbahagia, merayakan ulang tahunmu yang ke tujuh belas. Disampingmu berdiri ayah dan bunda. Dibelakangmu ada aku yang belum mengenal dirimu (mungkin kamu bertanya sedang apa aku disana. Sayang, aku sedang lapar menunggu makanan yang tidak kunjung tiba). Di depanmu berdiri sang cinta pertama.

Masih ingatkah dirimu? manisnya cinta, runtuhnya logika, betapa indahnya bahagia.

Saat kamu patah hati, simpanlah pahitnya cinta di dalam nadi, karena kamu tidak akan pernah merasakan cinta sejati, sebelum pedih cinta datang mengunjungi.

Happy Birthday.

Your Beloved,


Adrian.

Depok, 25 November 2023

Dear Nadian,

Kamu pasti ingat hari ini. Ini adalah hari,  dimana kamu pertama kali berkenalan dengan makhluk paling tampan sejagad raya: Aku.

Pasti kamu ingin muntah ketika membaca kalimat pertama surat ini. Aku tahu. Kamu ingin muntah karena kamu tidak kuat menahan betapa tampannya diriku waktu itu. Tidak apa-apa sayang. Akui saja.

Bukankah hidup ini lucu? 4 tahun kita berada di kampus yang sama, namun baru saat wisuda kita pertama saling menyapa.

Kita bertatap mata saat yang lain berpisah dalam duka.

Kamu dengan kekasihmu yang itu (mantanmu yang katanya paling ganteng. HUH!), dan aku dengan sahabatmu yang itu (mantanku yang selingkuh dengan mantanmu yang itu).

Ah, sayang. Adakah sebuah kata yang bisa mengukur keajaiban semesta?

Saat itu kita tidak pernah tahu, bahwa 4 tahun dari sekarang, entropi akan membawa arti, pada sebuah eksistensi yang selama ini tidak pernah kita sadari.

Your Beloved,


Adrian

Solaris, 1 Januari 2027

Dear Nadian,

Pernahkah kamu mengira? Bahwa kita akan bertemu diantara milyaran bintang di angkasa?

Kita saling menyapa dengan malu-malu, seperti pasangan baru yang akan berbulan madu.

Wajahmu merah merona, ketika aku (dengan tidak tahu malu) mengajakmu kencan di hari pertama kita bertemu (aku memang tidak pernah tahu malu).

Kamu berkata: "Iya" (Setelah pura-pura berpikir panjang)

Ingatkah film yang pertama kali kita tonton di bioskop? Kamu pasti tidak ingat. Aku juga tidak ingat.

Karena kita berdua tertidur pulas di kursi di bioskop.

Kita tertawa tanpa henti, saat petugas kebersihan membangunkan kita dari dunia mimpi.

Kulihat dirimu tertawa. Kusadari jemarimu menyentuh lenganku dengan jenaka.

Tuhan sedang menyadarkan kita. Semesta ingin kita untuk bersama.

Your Beloved,


Adrian.

Titan, 31 Desember 2052

Dear Nadian,

Sayang.

Aku sedang menulis sebuah surat cinta.

Sebuah surat yang kutulis dengan secarik kertas lama. Sebuah surat yang aku harap kelak kamu baca.

Kamu mungkin bertanya, kenapa harus sebuah surat?

Sayang, seorang sufi pernah berkata, bahwa setiap manusia adalah seorang pembaca.

Kamu mungkin bertanya, apa yang kita baca?

Takdir.

Tuhan menuliskan sebuah cerita di atas secarik kertas bernama semesta. Sayang, cerita tersebut bernama takdir. Kita lahir ke dunia untuk membaca apa yang Tuhan sudah tuliskan.

Maka, sebagai hadiah perpisahan ulang tahun pernikahan kita. Aku akan menuliskan takdir kita di atas secarik kertas.

Bukan sayang, aku tidak berniat untuk menjadi Tuhan. Aku hanya ingin memberitahukan kepadamu apa yang Tuhan sudah tuliskan untukmu, untukku.

Untuk memberitahukan padamu bahwa betapa indahnya hidup ini. Bahwa misteri ilahi hanyalah sebuah kebenaran yang selama ini selalu tersimpan di hati.

Sayang. Jika kamu membaca surat ini, berarti aku sudah pergi.

Sayang, janganlah kamu bersedih. Ini bukanlah sebuah perpisahan. Kita pasti akan bertemu lagi. Di sebuah masa, untuk merajut kembali benang-benang takdir yang suatu saat nanti akan mempersatukan kita kembali.

Sampai jumpa lagi.

Your Beloved,


Adrian.

----------------------------------------------- Final Entry---------------------------------------------

"Sir, are you ready to go?" Assitenku tampak khawatir. Wajar saja, aku bahkan tidak tahu bahwa percobaan ini akan berhasil atau tidak.

"I'm ready, son."

"Are you sure about this? You know, we can always send some drones instead."

"I'm sure. It has to be me. I have to see it with my own eyes."

"What about your wife, sir? Shouldn't we at least tell her about this?"

"Don't worry about it, I will see her again soon anyway." Lucu. Aku menemukan sebuah ironi dari ucapanku barusan.

"I'm ready. Activate the flux capacitor."

Sebuah mesin waktu. Siapa sangka?

"Sir.." Ada ketakutan dan binar keberanian di mata assitenku. Aku tahu dia juga ingin melihat semua ini dengan mata kepalanya sendiri.

"Yes?"

"Good luck."

"There's no such thing as luck, son." Aku tersenyum simpul "Everything is written."

------------------------TIME RESET------17 FEBRUARY---------2013---------------------


Sabtu, 17 Agustus 2013

Tiga Senjata


EDWIN

Pernikahan lagi. Sudah berapa acara pernikahan yang aku datangi selama setahun terakhir ini? 

Aku mengingat-ingat, mengobrak-ngabrik isi kepalaku yang dipenuhi dengan hal-hal yang tak aku perlu.

15 PERNIKAHAN!

Hampir setiap bulan, minimal ada satu orang yang menikah! 

Aku sendiri belum menikah.

Tentu saja aku tidak bisa menikah! Aku gay! Di negeri ini, jika kau seorang homoseksual, kau akan dihina, dihakimi, dibully, dicincang, bahkan mungkin direndang! Apalagi jika aku menikah. Gedung pernikahanku akan dibakar habis oleh massa!

Aku benci pernikahan. Pernikahan adalah parade kebohongan. Kebanyakan orang datang hanya untuk makan. Sebagian orang datang hanya untuk pamer pasangan. Hanya sedikit orang yang benar-benar (tulus) berbahagia untuk kedua mempelai.

Aku paling benci ketika ada orang yang mulai bertanya-tanya. Bertanya-tanya hanya untuk basa-basi semata:

"Kerja dimana sekarang?"

"Sibuk apa sekarang?"

"Tinggal dimana sekarang?"

"Kapan menikah?"

"Sudah kepala tiga loh, masa belum menikah?"

"Mau tante kenalkan ke anak teman tante yang itu?"

Mau ini, mau itu, sudah ini sudah itu. Rasanya aku ingin muntah.

Adikku yang paling kecil akan menikah dua hari lagi.

Neraka itu dekat.

DONY 

"Edwin nanti datang kan ke nikahan Banu?" 

Pertanyaan bunda sontak membuat Dony menelan ludah.

"Kayaknya sih datang bun." 

Pertanyaan bunda yang berikutnya akan membuat Dony menelan seluruh eksistensinya.

"Edwin sudah punya pacar belum, Don?"

Rasanya Dony ingin menggali tanah sedalam-dalamnya dan bersembunyi di pusat bumi.

"Sudah kok bun." 

Sudah sih, tapi pacarnya laki-laki.

"Bunda kok belum pernah lihat pacarnya yah? Mereka sudah pacaran berapa tahun, Don?"

Bunda sudah sering lihat pacarnya kok, sering datang ke rumah lagi. Tapi Edwin bilang itu teman kantornya, bukan teman tidurnya.

"Sudah pacaran 7 tahun bun" Jawab Dony singkat.

"Loh, Edwin masih sama pacarnya yang dulu? Bukannya udah putus?"

Dony bingung harus jawab apa. Edwin bohong, bun.

"Dony, kamu sebagai kakak tertua harus bisa nasihatin adik kamu dong. Sudah pacaran 7 tahun kok belum menikah. Pacaran lama enggak nikah-nikah cuma mengundang zinah dan fitnah. Enggak baik."

Mereka emang mau nikah sih bun. Tapi mereka cuma bisa nikah di Belanda. Jadi gimana dong?

"Iya bun, nanti Dony bilangin." Dony kemudian berdiri dan mengecup kening bundanya. "Dony mau pergi dulu ya, bun"

"Loh, kamu mau kemana, Don?"

"Mau jemput Kania, bun."

Dua kali sudah Dony berbohong. Ini demi kebaikan Bunda. Sebenarnya Dony masih akan menjemput istrinya di bandara beberapa jam lagi. Tapi kata "Kania" adalah mantra agar bunda berhenti berbicara tentang Edwin. Kania yang cantik, baik, pintar masak, menantu kebanggaan bunda. 

"Oh, kalian berdua nginep disini kan?"

"Iya bun"

Mata bunda berbinar-binar, "Bilangin ke Kania, bunda bakal masakin sayur sop kesukaan dia."

Dony tersenyum. 

Berapa lama lagi Dony harus berbohong pada bunda tercintanya? Neraka itu dekat.

AYU

Ayu takut tidak bisa datang ke pernikahan adik bungsunya. Kegiatannya akhir-akhir ini sangat padat.

Ayu bahkan tidak datang ke pernikahan Dony karena kesibukan Ayu yang begitu menumpuk (setelah mengirimkan hadiah berupa liburan gratis selama 3 hari 3 malam ke Hawaii, baru Doni bisa memaafkan Ayu). Tapi toh datang ke pernikahan Dony juga hanya akan menjadikan Ayu bulan-bulanan bunda.

"Kania itu pintar masak ya? Kamu masa udah gede gini enggak bisa masak?"

"Kania itu rajin sholat, pinter ngaji lagi. Kamu baca Iqro aja enggak bisa."

"Kania itu dokter loh, Yu."

Iya bunda, Iya bunda, Iya bunda. 

Kania ini, Kania itu. Kania adalah anak perempuan yang selama ini bunda ingin miliki.

Ayu bahkan sempat berpikir untuk tidak datang ke pernikahan Banu. Tapi ini adalah pernikahan adik kesayangannya. Banu pasti akan sangat kecewa jika Ayu tidak datang. Ayu sudah menghabiskan masa hidupnya selama ini untuk mengecewakan kedua orang tuanya, Ayu  tidak ingin membuat satu lagi orang yang begitu disayanginya  kecewa.

Ponselnya tiba-tiba berdering. 

Papa? Tumben.

"Halo pa?" 

"Halo yu" Suara papa begitu familiar ditelinga Ayu.

"Kenapa pa?"

"Kamu dimana? Ketemuan yuk, udah lama kita enggak ngobrol, makan bareng."

TUMBEN. Jika di dunia ada orang yang paling tidak peduli pada Ayu, itu adalah papa. Ayu terakhir kali bertemu dengan papa waktu lebaran setahun yang lalu. Itu pun bisa dibilang hanya sekadar formalitas. Papa bahkan tidak berbicara satu patah kata pun kepada Ayu.

Setelah sekian lama sekarang papa ingin bertemu? Mencurigakan.

"Aku baru beres shooting pa, papa mau makan dimana?" Mau tidak mau, Ayu juga jadi penasaran.

"Di tempat kita biasa makan aja, gimana?"

KITA BIASA MAKAN. Maksudnya dahulu kala, sebelum Ayu diusir dari rumah.

"Oke. Aku berangkat kesana sekarang." Jawab Ayu singkat.

Ayu bingung. Entah kenapa dia menerima dengan mudah ajakan papa. Mungkinkah Ayu merindukan papa?

Mungkin.


Tapi yang membuat Ayu lebih bingung adalah jadwalnya yang kebetulan kosong melompong hari ini.

Ini pasti suratan takdir.

EDWIN 

"Tumben lo ngajak gue makan" 

Dony sang kakak tercinta, mengajak diriku yang hina ini makan siang. Sungguh sebuah kejutan yang menyenangkan.

"Bunda ngomongin lo terus, gue enggak kuat bohong terus ke bunda." 

Tetap saja ada yang aneh. Dari sekian banyak orang yang bisa diajak makan siang. Kenapa harus aku? Seingatku, terakhir kali bahkan dia tidak ingin lagi berbicara denganku.

"Gue juga harus ngomong sesuatu." Nah ini dia.

"Ngomong apa kak?" Aku pura-pura tidak tahu. Tapi aku tahu dia pasti ingin berbicara tentang masalah orientasi seksualku.

"Gue masih ngerasa keganggu dengan 'pemandangan' yang gue lihat setahun yang lalu."

PEMANDANGAN. Maksudnya ketika Kakakku masuk ke kamarku tanpa mengetuk terlebih dahulu, dan dia memergokiku sedang bercinta dengan Aditya. Di rumah bunda. Malam takbiran. Sehari sebelum lebaran.

"Gue harap..." Dony berhenti sejenak. Tampaknya dia sedang berusaha sekuat tenaga untuk menghapus 'pemandangan' yang dahulu pernah dia lihat. 

"Gue harap itu cuma sekadar nafsu sesaat. Gue harap lo sadar..." 

"Sadar?" Aku mau tidak mau harus memotong kata-kata yang sangat offensif ini.

Dony menelan ludah. Dia bukan orang yang bodoh. Dia tahu aku tidak nyaman dengan kata itu.

"Maksud lo apa kak?"

"Maksud gue, gue ingin....gue ingin lo normal--"

"NORMAL!" Aku tidak tahan lagi, aku memukul meja sekuat tenaga. Semua orang di restoran memandang kita berdua. Aku tidak peduli.

Ini akan menjadi hari yang panjang.

AYU

"Papa sudah cerai dengan bunda!? KAPAN?" Jantung Ayu nyaris copot. Firasatnya memang benar. Ada yang aneh dengan pertemuan dadakan ini.

Papa dan bunda adalah tipikal pasangan yang membuat iri para tetangga.Begitu romantis dan harmonis. Ayu sama sekali jarang melihat Papa bunda bertengkar. Berita ini sangat mengejutkan, terutama berita ini datang langsung dari mulut papa.

"Yang lain tahu papa bunda sudah cerai?"

Papa hanya menggelengkan kepala. 

"Sejak papa usir kamu dari rumah, hubungan papa dengan bunda tidak lagi baik. Bunda kamu enggak setuju sama keputusan papa. Bunda terlalu sayang sama kamu. Sejak kamu pergi, bunda dan papa selalu berantem."

Papa kemudian terdiam dan menghela napas. Seakan semua ini begitu berat untuk dilakukan.

"Banu kuliah di luar kota, Edwin kerja di luar negeri, Dony sudah punya keluarga sendiri. Kamu sudah pergi. Di rumah cuma ada papa dan bunda, setiap hari selalu saja ada yang membuat papa bunda bertengkar. Papa enggak tahan, akhirnya papa pergi dari rumah."

"Berarti, lebaran kemarin, papa bunda sudah cerai?"

Papa mengangguk perlahan.

Ayu tidak bisa berkata apa-apa, semua ini terlalu sulit untuk diproses.

Ini akan menjadi hari yang panjang.

DONY

"GUE ENGGAK MAU BOHONGIN BUNDA LAGI!" 

"So what? Then tell her the Goddamn TRUTH!"

Adik gue ini bodoh luar biasa.

"Bunda bakal hancur WIN! LO TEGA NYAKITIN BUNDA LO SENDIRI!"

Dony dan Edwin bertengkar serperti sedang berada di rumah sendiri. Tidak peduli akan orang-orang di sekitar yang menonton mereka bertengkar. Memang tontonan ini lebih menarik daripada sinetron yang sedang ditayangkan di televisi.

"Terus gue harus gimana, kak? gue harus jadi NORMAL? Lo pikir gue mau terlahir seperti ini? Lo pikir gue mau nyakitin bunda gue sendiri? Gue enggak punya pilihan, kak!"

"Tiga senjata." Ujar doni.

Edwin memandang kakaknya. Dia mengerti jelas maksudnya.

AYU

"Terus kenapa papa enggak bilang apa-apa?"  Ayu nyaris putus asa mendengar pengakuan ayahnya.

"Papa bunda setuju bahwa anak-anak enggak perlu tahu tentang masalah ini."

Ayu menggelengkan kepalanya tidak percaya. Dia tidak mengerti.

"Kamu harus ngerti, Ayu. Papa bunda ingin kalian bahagia. Kita enggak ingin kalian memikirkan masalah yang cuma bikin kalian sedih. "

"Kalau begitu kenapa papa cuma kasih tahu Ayu? Yang lain juga harus tahu." 

"Papa pasti akan kasih tahu Dony, Edwin, dan Banu. Tapi papa ingin kamu yang pertama tahu."

"Kenapa?"

"Tiga senjata." Kata papa.

Ayu memandang papanya. Dia mengerti jelas maksudnya.

EDWIN

Tiga Senjata? 

Papa sering menyebut kata-kata itu. Tapi entah kenapa aku lupa. 

Banu belum lahir, Ayu masih SD, aku baru masuk SMP. Dony sudah kelas 3 SMP.

Aku ingat. Rumah kami dulu masih sangat kecil. Sebuah rumah kontrakan di dalam gang sempit di pinggir kota Jakarta. Aku, Dony, dan Ayu tidur sekamar.

Papa biasanya selalu pulang saat kami bertiga baru mau tidur. Papa memiliki ritual untuk memberikan kami nasihat kecil tentang hidup sebelum kami tidur. Nasihat papa selalu diakhiri dengan dua kata sakti: Tiga senjata.

Setelah papa memberikan nasihat-nasihatnya, dia akan bertanya: "Apa tiga senjata paling ampuh untuk menaklukan dunia?

Kemudian kami akan menjawab serentak: "Cinta, kebahagiaan, dan keluarga." 

3 senjata.

AYU

"Cinta, kebahagiaan, dan keluarga" Ucap ayu perlahan.

Papa mengangguk sambil tersenyum. "Kamu masih ingat."

"Enggak akan pernah aku lupa"

"Papa dari dulu ingin minta maaf sama kamu, Ayu. Tapi ego papa terlalu tinggi untuk sekadar bilang bahwa papa menyesal pernah usir kamu dulu. Kamu harus tahu bahwa papa waktu itu emosi. Kamu hamil.  Kamu anak perempuan papa satu-satunya, papa merasa gagal sebagai seorang ayah."

Papa menangis. Air mata demi air mata terus mengalir dari kedua matanya. Ayu menghampiri papa, memeluknya sekuat tenaga. Air mata juga ikut menetes dari kedua mata Ayu.

"Kamu adalah keluarga. Seharusnya papa tahu ini sejak dulu. Maafin papa, Ayu."

"Ayu sudah maafin papa dari dulu. Ayu ngerti. Ayu memang selalu bikin papa bunda kecewa. Papa enggak salah. Ayu yang salah. Ayu yang seharusnya minta maaf."

Papa tersenyum. "Kita mulai lagi dari awal ya?"

Ayu mengangguk setuju.

DONY

"Kita enggak akan bisa seperti sekarang tanpa keluarga, Win. Gue akan berusaha menghormati keputusan lo. Tapi lo juga harus menghormati Bunda. Gue belum tahu lo harus gimana. Kita keluarga, kita akan pikirin ini bareng-bareng. Tapi untuk sementara ini, please, make her happy."

Edwin terdiam. Dia mengerti maksud Dony. Tapi dia belum tahu harus berbuat apa tentang bunda. Haruskah Edwin jujur? 

"Temenin gue jemput Kania ke bandara. Nanti kita pulang ke rumah bunda bareng."

"Iya kak."

Kemudian mereka berdua pun pergi meninggalkan segenap penonton yang kecewa.

BANU

Papa, bunda, kak Dony, kak Kania, kak Edwin, kak AYU! Ada kak Ayu! Aku langsung berlari memeluk kak Ayu. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan kakakku yang super cantik ini. Maklum dia aktris papan atas. Kesibukannya tidak kunjung berhenti.

Bunda sedang menasehati kak Edwin tentang masalah jodoh dan pernikahan. Dia berkedip sambil mengangkat-ngangkat alisnya padaku ketika aku lewat. Aku tertawa kecil, kak Edwin memang selalu jahil.

Aku menyalami papa yang entah kenapa tampak ceria tidak seperti biasanya. Mungkinkah ada sesuatu yang membuat hatinya senang?

Aku menyapa kak Dony yang langsung memeluk dan memberikan aku selamat. Kak Kania juga langsung menyalami dan memberikan selamat padaku. Perut kak Kania sudah semakin membesar. Rupanya kak Kania sudah hamil 7 bulan! Aku sangat senang sekali mendengar berita ini, sebentar lagi akan ada anggota keluarga baru yang hadir.

Nah, sekarang bagaimana aku mengatakan pada mereka semua bahwa pernikahanku akan batal?