Sabtu, 17 Agustus 2013

5 Menit Kemudian

Perlahan Frei memegang tangan kedua bayi tersebut, menyentuhnya lembut, sejenak kemudian meraihnya dengan pasti. Jauh di dalam lubuk hati, Frei tahu bahwa pilihannya adalah pilihan yang benar. Semesta begitu yakin, seakan tahu, bahwa yang maha tahu tidak lagi ragu.

Ini adalah sebuah cerita gila. Setengah cinta, sisanya gila. 

1 JAM YANG LALU

Di atas langit suara genderang perang menderu-deru bagaikan suara ribuan kuda yang datang menyerbu. Badai es menerpa seisi kota, langit seakan runtuh bergemuruh. Para dewa sedang bertempur nun jauh disana. Suara pertempuran menggelegar membuat siapapun yang mendengar tenggelam dalam ketakutan.

Satu hari sebelum hari perkawinannya tiba, Frei harus menghadapi fakta, bahwa dunia yang dulu dikenalnya, akan hancur porak poranda.

Gaun pengantinnya ternoda oleh pecahan-pecahan es yang merobek-robek kain gaunnya. Runtuh sudah impian masa kecilnya. 

Frei dan semua warga terpaksa berkumpul (mengurung diri) di balai kota. Para warga terselubung dalam diam dan ketakutan. Mereka berdoa pada para dewa agar jiwa mereka bisa dibawa ke kehidupan yang selanjutnya dengan damai. Frei tidak berdoa, dia mengutuk para dewa karena telah mengambil kekasihnya. Seharusnya para dewa mengambil saja nyawanya, setidaknya saat ini dia sedang berada di Helgafell (surga), bahagia bersama Munin

Badai es terus menghantam balai kota Kandar seperti palu yang menghantam bebatuan. Konon katanya, balai kota Kandar terbuat dari kayu Yggdrasil, pohon dunia yang memanggul 9 alam. Begitu kuat kayu Yggdrasil, sehingga badai dari pertempuran para dewa tidak bisa meruntuhkan keperkasaannya. 

Balai kota Kandar cukup sederhana, terdapat aula yang luas di tengah ruangan balai kota. Di tengah aula terdapat patung Odin, sang dewa Tertinggi. Patung Odin berdiri gagah perkasa dengan tombaknya yang mengacung ke langit. Tepat di depan patung Odin terdapat panggung besar tempat para gypsi  mempertunjukan sihir dan keahlian mereka yang tidak wajar. Saat ini panggung tersebut digunakan oleh tetua  myr untuk menyampaikan ceramahnya tentang Ragnarok. Tetua myr mengoceh terus menerus tentang bagaimana Ragnarok adalah awal dari kejayaan umat manusia. Ragnarok bagaikan api suci yang membakar keburukan dan melahirkan kebaikan yang baru. Sesuatu yang Frei sudah dengar sejak dia masih kecil. Sebuah cerita untuk menakut-nakuti anak-anak untuk pergi tidur, hanya saja cerita itu tampaknya menjadi nyata saat ini.

Ketika Raganarok tiba dalam bentuk badai es, seluruh keluarga Frei tidak sempat untuk melarikan diri. Ayah, ibu, dan Nana semua meninggal terhempas Badai. Begitu juga dengan Munin yang mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan Frei.

Aku harap aku mati saja toh semua juga akan mati Dalam benak terucap doa, dalam hati yang setia mengalir air mata. Semesta lemah akan keinginan seorang manusia.

Beberapa saat lagi, doa Frei akan terjawab.

45 MENIT YANG LALU

Sebuah gemuruh terdengar tepat di luar Balai kota Kandar. Menciptakan gempa kecil yang bergema di seluruh balai kota. Suara tersebut terdengar seperti sebuah karang raksasa yang terhempas ke bumi. Semua warga berteriak ketakutan. Mereka semua tahu bahwa kematian berada tepat di depan mata.

Secercah cahaya merah tiba-tiba menyeruak menelusuk ke dalam sekat-sekat kecil balai kota, seakan ingin memaksa masuk. Cahaya tersebut lama-lama semakin membesar dan banyak, membentuk pilar-pilar tipis yang menyinari seluruh balai kota.

Tetua Myr tiba-tiba terduduk lemas, tubuhnya bergetar ketakutan, jari telunjuknya tiba-tiba terangkat, bergetar menujuk sumber cahaya merah yang berada tepat dibalik pintu balai kota Kandar. Dia menelan ludah, mulutnya pelan membuka, lidahnya kelu, tapi beberapa kata keluar dari mulutnya:

"Rak....raksasa....raksasa api..." Ucap Tetua Myr.

Beberapa detik setelah tetua Myr berucap, sebuah tangan raksasa yang terbakar oleh api merah menghantam dan menembus tembok balai kota Kandar yang kokoh.

Frei bisa dengan jelas melihat sebuah tangan raksasa yang mengayun kuat namun perlahan menghantam seisi balai kota. Banyak warga terhempas karena terkena ayunan tangan raksasa tersebut. Frei rupanya masih beruntung, dia masih bisa bernapas.

Serangan dari raksasa tersebut merusak sebagian balai kota. Lubang besar dan panjang menganga dengan jelas. Sesosok besar telanjang dan terbakar bisa terlihat dari lubang tersebut. Tubuh sosok tersebut begitu besar, tubuhnya diselimuti oleh api yang membara, matanya merah menyala.

Beberapa warga yang masih hidup berlutut, berkomat-kamit mengucap berbagai doa dan mantra. Frei berbeda. Dia berdiri dengan tegak. Rambut merah panjangnya berkibar tertiup badai putih. Matanya tajam menatap mata sang raksasa yang merah menyala. Dia sudah siap.

Raksasa tersebut kemudian mengangkat kedua tangannya ke angkasa, bersiap untuk menghantam seisi balai kota.

Ini dia saatnya.

BUM!

..dan semua luluh lantak.

40 MENIT YANG LALU

Frei terbangun di suatu tempat yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Sebuah padang bunga lily putih. Angin lembut menyentuh wajahnya. Kelopak bunga liliy putih berterbangan disekitarnya. Inikah Helgafell ?

Ketika kedua mata Frei sepenuhnya terbuka, dia akhirnya menyadari bahwa dia sedang berada di pangkuan Munin, kekasihnya.

Munin tersenyum dan perlahan mencium bibir Frei. Frei seketika teringat akan ciuman Munin yang lembut dan bibirnya yang manis. Dia sangat merindukan kekasihnya ini. Frei tidak ingin melepaskan saat ini.

"Semua ini bagaikan mimpi" Ujar Frei sambil mengusap lembut rambut Munin yang berwarna kehitaman.

Munin tersenyum simpul.

"Ini memang mimpi."

15 MENIT YANG LALU

Sebuah angin panas membangunkan Frei dari mimpinya yang indah. Dia masih hidup.

Frei kebingungan, dia melihat sekelilingnya, rupanya dia terhempas cukup jauh dari balai kota. Balai kota habis dilalap api yang terus menyala. Raksasa  yang tadi menyerang balai kota sudah tidak ada. Badai es yang tadi menyelimuti seluruh kota kini sudah mereda.

Apa yang terjadi?

Frei dengan putus asa melihat kesekelilingnya, yang ada hanya sunyi, sepi dan suara api yang membakar pepohonan di sekitarnya. Dia berlari, mencari tanda-tanda kehidupan, seorang teman untuk menemani kesendirian. Tapi semua sudah tiada. Semua sudah berangkat pergi.

Frei terpaksa berpikir bahwa mungkin para dewa begitu membencinya sehingga hanya dia yang dibiarkan hidup.

Tapi para dewa sudah mati. 

Frei menengadahkan kepalanya ke langit, di atas tidak lagi ada mendung yang kelabu, yang ada hanya bintang yang berkelip manja. Semua begitu sunyi, hanya degup jantungnya yang berbunyi.

Perlahan air mata menetes. Belum pernah Frei merasa kesepian seperti ini sebelumnya. Benaknya terus bertanya-tanya, apakah sudah menjadi takdirnya untuk berakhir merana?

Rasa rindu yang amat sangat merasuk jauh ke dalam rusuk. Menyentuh kalbu yang sedang berkelam kelabu.

Frei sangat rindu akan ibunda yang selalu tersenyum memanjakannya. Dia sangat rindu akan ayahnya yang kuat, tegar, dan selalu melindunginya. Dia sangat rindu akan Nana yang selalu menemaninya di saat senang, dan menghiburnya di kala sedih.  Betapa Frei merindukan sentuhan Munin yang lembut. Senyuman dan kasih sayangnya yang tulus.

Tetes demi tetes air mata jatuh ke salju yang putih lembut.  Semesta enggan untuk memberi jawaban. Para dewa sudah hilang ditelan kematian. Frei tahu bahwa dia harus membuat keputusan.

Frei berdiri, berjalan dengan lemah menuju reruntuhan balai Kota. Di balai kota, Frei mengambil sebuah potongan kayu yang runcing.

Jika para dewa tidak mau mengambil nyawaku, biarlah aku yang mengakhiri hidupku.

Frei berlutut di tengah reruntuhan balai kota. Kayu yang runcing dia arahkan tepat di depan urat nadi lehernya.

Ini dia saatnya.

Frei akhirnya menghujamkan potongan kayu yang runcing itu kelehernya.....tapi sesaat sebelum kayu yang runcing menembus urat nadinya, suara tangisan bayi terdengar memecah kesunyian.

Takdir berkata lain.

5 MENIT YANG LALU

Seorang bayi perempuan dan seorang bayi laki-laki, tertimbun diantara reruntuhan balai kota, terlindungi oleh tubuh ibunya. Jika ini bukan takdir lalu apa namanya?

Tangisan bayi tersebut memecah kesunyian. Memberikan secercah harapan yang sempat hilang di hati yang kelam.

Frei mengangkat kedua bayi tersebut perlahan. Dua bayi tersebut pun berhenti menangis, seakan menemukan perlindungan dalam dekapan Frei yang hangat.

Perlahan Frei memegang tangan kedua bayi tersebut, menyentuhnya lembut, sejenak kemudian meraihnya dengan pasti. Jauh di dalam lubuk hati, Frei tahu bahwa pilihannya adalah pilihan yang benar. Semesta begitu yakin, seakan tahu, bahwa yang maha tahu tidak lagi ragu.

5 menit kemudian mentari terbangun dari balik pegunungan Baldur. Cahayanya begitu terang, seakan memberikan jawaban bagi pertanyaan yang tidak kunjung datang. 

Tidak ada komentar: