Sabtu, 17 Agustus 2013

Tiga Senjata


EDWIN

Pernikahan lagi. Sudah berapa acara pernikahan yang aku datangi selama setahun terakhir ini? 

Aku mengingat-ingat, mengobrak-ngabrik isi kepalaku yang dipenuhi dengan hal-hal yang tak aku perlu.

15 PERNIKAHAN!

Hampir setiap bulan, minimal ada satu orang yang menikah! 

Aku sendiri belum menikah.

Tentu saja aku tidak bisa menikah! Aku gay! Di negeri ini, jika kau seorang homoseksual, kau akan dihina, dihakimi, dibully, dicincang, bahkan mungkin direndang! Apalagi jika aku menikah. Gedung pernikahanku akan dibakar habis oleh massa!

Aku benci pernikahan. Pernikahan adalah parade kebohongan. Kebanyakan orang datang hanya untuk makan. Sebagian orang datang hanya untuk pamer pasangan. Hanya sedikit orang yang benar-benar (tulus) berbahagia untuk kedua mempelai.

Aku paling benci ketika ada orang yang mulai bertanya-tanya. Bertanya-tanya hanya untuk basa-basi semata:

"Kerja dimana sekarang?"

"Sibuk apa sekarang?"

"Tinggal dimana sekarang?"

"Kapan menikah?"

"Sudah kepala tiga loh, masa belum menikah?"

"Mau tante kenalkan ke anak teman tante yang itu?"

Mau ini, mau itu, sudah ini sudah itu. Rasanya aku ingin muntah.

Adikku yang paling kecil akan menikah dua hari lagi.

Neraka itu dekat.

DONY 

"Edwin nanti datang kan ke nikahan Banu?" 

Pertanyaan bunda sontak membuat Dony menelan ludah.

"Kayaknya sih datang bun." 

Pertanyaan bunda yang berikutnya akan membuat Dony menelan seluruh eksistensinya.

"Edwin sudah punya pacar belum, Don?"

Rasanya Dony ingin menggali tanah sedalam-dalamnya dan bersembunyi di pusat bumi.

"Sudah kok bun." 

Sudah sih, tapi pacarnya laki-laki.

"Bunda kok belum pernah lihat pacarnya yah? Mereka sudah pacaran berapa tahun, Don?"

Bunda sudah sering lihat pacarnya kok, sering datang ke rumah lagi. Tapi Edwin bilang itu teman kantornya, bukan teman tidurnya.

"Sudah pacaran 7 tahun bun" Jawab Dony singkat.

"Loh, Edwin masih sama pacarnya yang dulu? Bukannya udah putus?"

Dony bingung harus jawab apa. Edwin bohong, bun.

"Dony, kamu sebagai kakak tertua harus bisa nasihatin adik kamu dong. Sudah pacaran 7 tahun kok belum menikah. Pacaran lama enggak nikah-nikah cuma mengundang zinah dan fitnah. Enggak baik."

Mereka emang mau nikah sih bun. Tapi mereka cuma bisa nikah di Belanda. Jadi gimana dong?

"Iya bun, nanti Dony bilangin." Dony kemudian berdiri dan mengecup kening bundanya. "Dony mau pergi dulu ya, bun"

"Loh, kamu mau kemana, Don?"

"Mau jemput Kania, bun."

Dua kali sudah Dony berbohong. Ini demi kebaikan Bunda. Sebenarnya Dony masih akan menjemput istrinya di bandara beberapa jam lagi. Tapi kata "Kania" adalah mantra agar bunda berhenti berbicara tentang Edwin. Kania yang cantik, baik, pintar masak, menantu kebanggaan bunda. 

"Oh, kalian berdua nginep disini kan?"

"Iya bun"

Mata bunda berbinar-binar, "Bilangin ke Kania, bunda bakal masakin sayur sop kesukaan dia."

Dony tersenyum. 

Berapa lama lagi Dony harus berbohong pada bunda tercintanya? Neraka itu dekat.

AYU

Ayu takut tidak bisa datang ke pernikahan adik bungsunya. Kegiatannya akhir-akhir ini sangat padat.

Ayu bahkan tidak datang ke pernikahan Dony karena kesibukan Ayu yang begitu menumpuk (setelah mengirimkan hadiah berupa liburan gratis selama 3 hari 3 malam ke Hawaii, baru Doni bisa memaafkan Ayu). Tapi toh datang ke pernikahan Dony juga hanya akan menjadikan Ayu bulan-bulanan bunda.

"Kania itu pintar masak ya? Kamu masa udah gede gini enggak bisa masak?"

"Kania itu rajin sholat, pinter ngaji lagi. Kamu baca Iqro aja enggak bisa."

"Kania itu dokter loh, Yu."

Iya bunda, Iya bunda, Iya bunda. 

Kania ini, Kania itu. Kania adalah anak perempuan yang selama ini bunda ingin miliki.

Ayu bahkan sempat berpikir untuk tidak datang ke pernikahan Banu. Tapi ini adalah pernikahan adik kesayangannya. Banu pasti akan sangat kecewa jika Ayu tidak datang. Ayu sudah menghabiskan masa hidupnya selama ini untuk mengecewakan kedua orang tuanya, Ayu  tidak ingin membuat satu lagi orang yang begitu disayanginya  kecewa.

Ponselnya tiba-tiba berdering. 

Papa? Tumben.

"Halo pa?" 

"Halo yu" Suara papa begitu familiar ditelinga Ayu.

"Kenapa pa?"

"Kamu dimana? Ketemuan yuk, udah lama kita enggak ngobrol, makan bareng."

TUMBEN. Jika di dunia ada orang yang paling tidak peduli pada Ayu, itu adalah papa. Ayu terakhir kali bertemu dengan papa waktu lebaran setahun yang lalu. Itu pun bisa dibilang hanya sekadar formalitas. Papa bahkan tidak berbicara satu patah kata pun kepada Ayu.

Setelah sekian lama sekarang papa ingin bertemu? Mencurigakan.

"Aku baru beres shooting pa, papa mau makan dimana?" Mau tidak mau, Ayu juga jadi penasaran.

"Di tempat kita biasa makan aja, gimana?"

KITA BIASA MAKAN. Maksudnya dahulu kala, sebelum Ayu diusir dari rumah.

"Oke. Aku berangkat kesana sekarang." Jawab Ayu singkat.

Ayu bingung. Entah kenapa dia menerima dengan mudah ajakan papa. Mungkinkah Ayu merindukan papa?

Mungkin.


Tapi yang membuat Ayu lebih bingung adalah jadwalnya yang kebetulan kosong melompong hari ini.

Ini pasti suratan takdir.

EDWIN 

"Tumben lo ngajak gue makan" 

Dony sang kakak tercinta, mengajak diriku yang hina ini makan siang. Sungguh sebuah kejutan yang menyenangkan.

"Bunda ngomongin lo terus, gue enggak kuat bohong terus ke bunda." 

Tetap saja ada yang aneh. Dari sekian banyak orang yang bisa diajak makan siang. Kenapa harus aku? Seingatku, terakhir kali bahkan dia tidak ingin lagi berbicara denganku.

"Gue juga harus ngomong sesuatu." Nah ini dia.

"Ngomong apa kak?" Aku pura-pura tidak tahu. Tapi aku tahu dia pasti ingin berbicara tentang masalah orientasi seksualku.

"Gue masih ngerasa keganggu dengan 'pemandangan' yang gue lihat setahun yang lalu."

PEMANDANGAN. Maksudnya ketika Kakakku masuk ke kamarku tanpa mengetuk terlebih dahulu, dan dia memergokiku sedang bercinta dengan Aditya. Di rumah bunda. Malam takbiran. Sehari sebelum lebaran.

"Gue harap..." Dony berhenti sejenak. Tampaknya dia sedang berusaha sekuat tenaga untuk menghapus 'pemandangan' yang dahulu pernah dia lihat. 

"Gue harap itu cuma sekadar nafsu sesaat. Gue harap lo sadar..." 

"Sadar?" Aku mau tidak mau harus memotong kata-kata yang sangat offensif ini.

Dony menelan ludah. Dia bukan orang yang bodoh. Dia tahu aku tidak nyaman dengan kata itu.

"Maksud lo apa kak?"

"Maksud gue, gue ingin....gue ingin lo normal--"

"NORMAL!" Aku tidak tahan lagi, aku memukul meja sekuat tenaga. Semua orang di restoran memandang kita berdua. Aku tidak peduli.

Ini akan menjadi hari yang panjang.

AYU

"Papa sudah cerai dengan bunda!? KAPAN?" Jantung Ayu nyaris copot. Firasatnya memang benar. Ada yang aneh dengan pertemuan dadakan ini.

Papa dan bunda adalah tipikal pasangan yang membuat iri para tetangga.Begitu romantis dan harmonis. Ayu sama sekali jarang melihat Papa bunda bertengkar. Berita ini sangat mengejutkan, terutama berita ini datang langsung dari mulut papa.

"Yang lain tahu papa bunda sudah cerai?"

Papa hanya menggelengkan kepala. 

"Sejak papa usir kamu dari rumah, hubungan papa dengan bunda tidak lagi baik. Bunda kamu enggak setuju sama keputusan papa. Bunda terlalu sayang sama kamu. Sejak kamu pergi, bunda dan papa selalu berantem."

Papa kemudian terdiam dan menghela napas. Seakan semua ini begitu berat untuk dilakukan.

"Banu kuliah di luar kota, Edwin kerja di luar negeri, Dony sudah punya keluarga sendiri. Kamu sudah pergi. Di rumah cuma ada papa dan bunda, setiap hari selalu saja ada yang membuat papa bunda bertengkar. Papa enggak tahan, akhirnya papa pergi dari rumah."

"Berarti, lebaran kemarin, papa bunda sudah cerai?"

Papa mengangguk perlahan.

Ayu tidak bisa berkata apa-apa, semua ini terlalu sulit untuk diproses.

Ini akan menjadi hari yang panjang.

DONY

"GUE ENGGAK MAU BOHONGIN BUNDA LAGI!" 

"So what? Then tell her the Goddamn TRUTH!"

Adik gue ini bodoh luar biasa.

"Bunda bakal hancur WIN! LO TEGA NYAKITIN BUNDA LO SENDIRI!"

Dony dan Edwin bertengkar serperti sedang berada di rumah sendiri. Tidak peduli akan orang-orang di sekitar yang menonton mereka bertengkar. Memang tontonan ini lebih menarik daripada sinetron yang sedang ditayangkan di televisi.

"Terus gue harus gimana, kak? gue harus jadi NORMAL? Lo pikir gue mau terlahir seperti ini? Lo pikir gue mau nyakitin bunda gue sendiri? Gue enggak punya pilihan, kak!"

"Tiga senjata." Ujar doni.

Edwin memandang kakaknya. Dia mengerti jelas maksudnya.

AYU

"Terus kenapa papa enggak bilang apa-apa?"  Ayu nyaris putus asa mendengar pengakuan ayahnya.

"Papa bunda setuju bahwa anak-anak enggak perlu tahu tentang masalah ini."

Ayu menggelengkan kepalanya tidak percaya. Dia tidak mengerti.

"Kamu harus ngerti, Ayu. Papa bunda ingin kalian bahagia. Kita enggak ingin kalian memikirkan masalah yang cuma bikin kalian sedih. "

"Kalau begitu kenapa papa cuma kasih tahu Ayu? Yang lain juga harus tahu." 

"Papa pasti akan kasih tahu Dony, Edwin, dan Banu. Tapi papa ingin kamu yang pertama tahu."

"Kenapa?"

"Tiga senjata." Kata papa.

Ayu memandang papanya. Dia mengerti jelas maksudnya.

EDWIN

Tiga Senjata? 

Papa sering menyebut kata-kata itu. Tapi entah kenapa aku lupa. 

Banu belum lahir, Ayu masih SD, aku baru masuk SMP. Dony sudah kelas 3 SMP.

Aku ingat. Rumah kami dulu masih sangat kecil. Sebuah rumah kontrakan di dalam gang sempit di pinggir kota Jakarta. Aku, Dony, dan Ayu tidur sekamar.

Papa biasanya selalu pulang saat kami bertiga baru mau tidur. Papa memiliki ritual untuk memberikan kami nasihat kecil tentang hidup sebelum kami tidur. Nasihat papa selalu diakhiri dengan dua kata sakti: Tiga senjata.

Setelah papa memberikan nasihat-nasihatnya, dia akan bertanya: "Apa tiga senjata paling ampuh untuk menaklukan dunia?

Kemudian kami akan menjawab serentak: "Cinta, kebahagiaan, dan keluarga." 

3 senjata.

AYU

"Cinta, kebahagiaan, dan keluarga" Ucap ayu perlahan.

Papa mengangguk sambil tersenyum. "Kamu masih ingat."

"Enggak akan pernah aku lupa"

"Papa dari dulu ingin minta maaf sama kamu, Ayu. Tapi ego papa terlalu tinggi untuk sekadar bilang bahwa papa menyesal pernah usir kamu dulu. Kamu harus tahu bahwa papa waktu itu emosi. Kamu hamil.  Kamu anak perempuan papa satu-satunya, papa merasa gagal sebagai seorang ayah."

Papa menangis. Air mata demi air mata terus mengalir dari kedua matanya. Ayu menghampiri papa, memeluknya sekuat tenaga. Air mata juga ikut menetes dari kedua mata Ayu.

"Kamu adalah keluarga. Seharusnya papa tahu ini sejak dulu. Maafin papa, Ayu."

"Ayu sudah maafin papa dari dulu. Ayu ngerti. Ayu memang selalu bikin papa bunda kecewa. Papa enggak salah. Ayu yang salah. Ayu yang seharusnya minta maaf."

Papa tersenyum. "Kita mulai lagi dari awal ya?"

Ayu mengangguk setuju.

DONY

"Kita enggak akan bisa seperti sekarang tanpa keluarga, Win. Gue akan berusaha menghormati keputusan lo. Tapi lo juga harus menghormati Bunda. Gue belum tahu lo harus gimana. Kita keluarga, kita akan pikirin ini bareng-bareng. Tapi untuk sementara ini, please, make her happy."

Edwin terdiam. Dia mengerti maksud Dony. Tapi dia belum tahu harus berbuat apa tentang bunda. Haruskah Edwin jujur? 

"Temenin gue jemput Kania ke bandara. Nanti kita pulang ke rumah bunda bareng."

"Iya kak."

Kemudian mereka berdua pun pergi meninggalkan segenap penonton yang kecewa.

BANU

Papa, bunda, kak Dony, kak Kania, kak Edwin, kak AYU! Ada kak Ayu! Aku langsung berlari memeluk kak Ayu. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan kakakku yang super cantik ini. Maklum dia aktris papan atas. Kesibukannya tidak kunjung berhenti.

Bunda sedang menasehati kak Edwin tentang masalah jodoh dan pernikahan. Dia berkedip sambil mengangkat-ngangkat alisnya padaku ketika aku lewat. Aku tertawa kecil, kak Edwin memang selalu jahil.

Aku menyalami papa yang entah kenapa tampak ceria tidak seperti biasanya. Mungkinkah ada sesuatu yang membuat hatinya senang?

Aku menyapa kak Dony yang langsung memeluk dan memberikan aku selamat. Kak Kania juga langsung menyalami dan memberikan selamat padaku. Perut kak Kania sudah semakin membesar. Rupanya kak Kania sudah hamil 7 bulan! Aku sangat senang sekali mendengar berita ini, sebentar lagi akan ada anggota keluarga baru yang hadir.

Nah, sekarang bagaimana aku mengatakan pada mereka semua bahwa pernikahanku akan batal?

Tidak ada komentar: