Rabu, 14 Agustus 2013

Sepasang Sepatu Tua

BAB I - SEPASANG SEPATU TUA

Hidupku ini sederhana. Aku terbangun disaat yang lain mulai menutup mata. Aku berjalan disaat yang lain mulai merebahkan raga.  Aku menyambut dinginnya realita disaat yang lain mulai memeluk mimpi-mimpi mereka yang maya.

Aku ini seperti si manusia kelelawar, minus kostum hitam dan pukulan yang bisa merontokkan tulang.
Setiap malam kusambut lampu  remang-remang dan para perempuan yang menjual selangkangan.  Aku hanya bisa tersenyum dan menyapa seadanya, saat mereka dengan sopan menawarkan tubuh mereka untuk kupegang.

Ironis memang, diriku pada dasarnya tidak berbeda dengan para penjual selangkangan.  Aku memang menjual diri, tapi yang kujual bukan birahi. Aku menjual sesuatu yang lebih munafik, pekerjaan kotor dimana orang lain terlalu suci untuk peduli.

Aku ini seperti si manusia kelelawar, minus pahlawan dan keadilan. Aku ini komedian di panggung dagelan. Penontonnya munafik, tenggelam dalam kepalsuan.  Aku ini komedian yang mentertawakan penontonnya sendiri.

Di malam hari yang dipenuhi oleh penjahat hidung belang dan laki-laki yang doyan main belakang, aku adalah sebuah keadilan yang terlupakan. Di langit kulihat bintang, di bumi kulihat wanita jalang. Aku adalah keburukan yang dianggap pahlawan.

Saat kulangkahkan kakiku lebih dekat menuju tujuan. Aku kembali mengingat apa yang akan aku lakukan.  Aku teringat bahwa aku harus menghujamkan sebuah belati pada seorang lelaki.

Dia lelaki tapi bukan lelaki yang biasa kau lihat sehari-hari. Dia adalah bajingan rendahan, seorang koruptor kambuhan. Di televisi si lelaki berceramah tentang moral, seakan dia adalah orang suci yang rajin beramal. Di belakang layar si lelaki adalah perampok yang hobi menjamah perawan.

Kau tidak akan pernah menduga, Karena hukum di negeri ini buta akan tahta dan kuasa. Suatu hari si lelaki menyerah pada birahi, memperkosa seorang perawan di bawah ancaman sebuah belati. Hukum dibeli, keadilan dicuri. Si lelaki bebas dari semua tuntutan dan harapan akan keadilan.

Disaat keadilan meratap, Tuhan diam-diam melihat, mataku pun tidak luput menatap.

Salahkah diriku yang menuntut sedikit keadilan, disaat semua orang sudah lupa dan buta akan sedikit kebaikan?

Salahkah diriku yang melanggar hukum demi tegaknya sebuah hukum?

Semua orang boleh menghakimi, tapi aku tahu pasti bahwa tidak ada orang yang cukup berani, untuk melakukan apa yang akan kujalani.

Harus ada seseorang yang berbuat kebenaran di dunia yang dipenuhi dengan kesalahan.

Aku ini seperti si manusia kelelawar, bertopeng hitam, buta akan aturan, tidak toleran akan ketidakadilan.

Saat kakiku tiba di tempat tujuan, aku melihat sebuah rumah mewah yang dihiasi oleh kerusakan moral. Sebuah rumah bertahta emas dan berlian yang dibangun dari air mata yang tersiksa.

Negeri ini, dimana perampok adalah para pahlawan pembela kebenaran. Negeri ini, dimana rakyatnya terlalu sibuk untuk membuat perut sendiri kenyang. Negeri ini dimana orang yang waras membiarkan yang gila berkuasa. Negeri ini dimana yang miskin akan dibuat menderita, dan yang kaya akan dipuja.

Di samping rumah mewah tersebut kulihat seorang anak miskin tergeletak di jalanan yang dingin. Tubuhnya meringkuk tanpa selimut, menahan dinginnya angin malam yang kejam kelam. Aku melihat sepasang sepatu tua, kotor, dan berdebu menyelimuti kaki-kaki kecil anak si anak miskin. Kulihat tambalan-tambalan kecil d sepasang sepatu tua itu. Kulihat jempol kaki si anak miskin yang menyembul keluar dari sepatu tua tersebut, Sepasang sepatu tua yang bahkan sudah terlalu kecil untuk dipakai si anak miskin. Diam-diam aku meringis melihat kenyataan hidup yang begitu pahit. Anak ini terlalu miskin bahkan untuk membeli sebuah sepatu. 

Tidak ada yang peduli pada sepasang sepatu tua usang yang sudah tidak layak pakai.Namun aku peduli. Harus ada keadilan di tanah tempatku berjalan.

FINALE

Si bajingan kambuhan hanya bisa diam ketakutan, meringkuk di pojokan sambil meringis kesakitan.

Aku hanya bisa tertawa melihat pemandangan yang sangat menjijikan ini. Tubuh si bajingan telanjang bulat, bagaikan anjing kudisan. Aku masuk ke rumahnya bagaikan bayang-bayang kelam, tidak ada yang tahu aku datang ke dalam. Tidak ada penjaga, tidak ada satpam, yang ada hanyalah suara lenguhan birahi si bajingan yang sedang bermasturbasi. 

Aku beruntung karena si bajingan adalah salah satu pejabat tingkat tinggi yang cukup bodoh untuk membiarkan rumahnya tanpa penjagaan apapun. Maka sangatlah mudah bagiku untuk menyelinap ke dalam rumah si bajingan.

Begitu kutemukan si bajingan, kupukuli dia, kutelanjangi dia, kuikat dia, dan kusumpal mulutnya agar dia tidak bisa bicara. Darah di hidungnya mengalir bercampur dengan air mata yang menetes bagai aliran sungai. Dia ketakutan setengah mati, aku bisa melihat tubuhnya bergetar.

Kutendangi tubuhnya yang gempal setelah kusadari bahwa dia sedang menonton rekaman korban-korbannya yang dahulu dia perkosa, kulihat rekaman tersebut, ada belasan, bahkan puluhan perempuan yang telah dia nodai, sungguh sangat menjijikan. Didepanku sedang meringkuk sebuah gumpalan daging nista yang diangkat langsung oleh rakyat. Hatiku panas menyadari hal yang sangat menyakitkan ini.

Disampingku ada sebuah cermin besar yang memantulkan diriku sendiri. Aku melihat sebuah sosok yang tidak kukenali, padahal sosok itu adalah diriku sendiri. Aku yang berpakaian serba hitam, lengkap dengan topeng semar yang kuwarnai hitam. Topeng semar yang tersenyum seakan mentertawakan ironi dari semua ini. Sebuah kejahatan untuk membasmi ketidakadilan. Tidak ada yang lebih ironis dari hal yang aku lakukan saat ini.

Aku bukanlah aku, aku adalah monster yang memperjuangkan keadilan,

Kemudian kulihat si bajingan kambuhan, kulihat kamarnya yang mewah dan serba nyaman. Aku melihat sepatunya yang bagus, bersinar dan tampak begitu mahal. Amarahku tiba-tiba menggeleggak hingga ke ubun-ubun mengingat sepasang sepatu tua si anak miskin. Aku marah karena menyadari bahwa semua ini sangatlah tidak adil. Tuhan sudah lama pergi dari bumi pertiwi ini.

Tuhan boleh menghukum si bajingan ini di akhirat nanti, tapi di dunia ini, aku lah yang akan mengadili si bajingan hingga dia mati.

Maka kubenamkan sepatuku sekuat tenaga ke wajah si bajingan. Lagi, lagi, lagi, lagi, lagi, lagi, lagi, lagi, lagi, lagi, lagi, lagi, dan lagi.....dan lagi.


Tidak ada komentar: