Jumat, 23 Agustus 2013

Permintaan Terakhir

BAR

"Kamu masih ingat enggak?" Nada Taya begitu menggoda.

"Ingat apa?" Rian berpura-pura tenang, padahal jantungnya berdendang sepanjang malam.

"Waktu kuliah dulu." Taya terdiam sejenak, penasaran ingin melihat reaksi Rian.

Rian berusaha keras untuk tak acuh, berlagak menenggak sebotol bir, padahal tidak setetes-pun jatuh ke kerongkongannya.

"Kamu pernah jadi pacar aku." Keluar sudah kartu As Taya. 

Rian terdiam. Pura-pura mengingat. Padahal dia terlampau ingat.

"Masa sih?" Rian mengangkat sebelah alisnya, mengeluarkan satu-satunya gestur yang dia tahu untuk memperkokoh kepura-puraanya.

"Aku lupa." Botol bir pun Rian cium Kembali.  Setetes air pun bahkan tidak menyentuh lidahnya.

Taya tersenyum dalam diam. Dia tahu Rian sedang bercanda.

"Mau aku ingetin?" Kembali Taya menggoda. Wajahnya dia sengaja dekatkan ke wajah Rian. 

Rian tidak ingin menjauh. Dia tahu ini salah. Tapi apakah ini salah? Semua ini terasa benar. 

Terasa benar. Sayangnya kebenaran itu bukan untuk dirasa.

RING!

Ponsel Taya berbunyi. Dia segera melihat ponselnya.

"Suami" Kata Taya singkat.

Taya langsung menjauh pergi, mengangkat telpon dari suaminya. Pergi ke sebuah sudut yang tidak akan pernah terjangkau oleh Rian. Membentuk sebuah jarak tak kasat mata yang jauhnya bagai ratusan ribu tahun cahaya.

Tidak akan pernah.

PIP!

Sebuah pesan singkat mendarat di ponsel Rian.

"Sayang, kamu dimana? Kamu jadi ke kosan aku?"

Rian termenung melihat layar ponselnya yang statis. Kemudian jari jemarinya dengan luwes mengetik beberapa kata singkat.

"Sayang aku harus lembur hari ini. Aku ketemu kamu besok aja ya."

Rian tiba-tiba membenci dirinya sendiri. Tidak ada rasa bersalah sedikipun dalam hatinya.

PIP!

"Sayang, besok papa mama mau kesini. Mereka mau lihat gedung nikahannya bareng. Semangat ya sayang lemburnya. I love you."

Rian menghela napasnya.

"Pacar kamu?" Tanya Taya. Baru kembali dari sudut ruangan.

"CALON istri aku." Jawab Rian sambil tersenyum.

"Kamu bilang ke dia kamu lagi sama aku?" Taya sebenarnya tahu jawaban dari pertanyaannya. 

"Enggak. Kamu bilang ke suami kamu, kamu lagi sama aku?" 

Taya menggelengkan kepalanya.

Mereka berdua tertawa. Tertawa lepas. Seakan beban dunia tidak lagi menjadi masalah mereka berdua.

"This is so wrong." Ujar Rian.

"Apanya yang salah? Kita berdua kan cuma temen." 

Temen.

"Masa? Waktu kamu mutusin aku emang kamu pernah bilang: Kita temenan aja?"

"Hell, yes."

"Hell, no."

"Rian." Taya tahu ini adalah sebuah permainan yang harus dia menangkan, "Putus cinta itu adalah sebuah gestur universal. Sebuah perubahan dari yang dulu istimewa menjadi sesuatu yang biasa. Aku enggak harus bilang 'Let's just be friends' untuk mengkonfirmasi bahwa status kita yang sebelumnya pacaran berubah jadi--"

"Temen" Ujar Rian menginterupsi. 

Taya mengangguk setuju.

"Jadi temen itu enggak ngomong selama bertahun-tahun, enggak ngasih kabar selama bertahun-tahun, terus setelah kita secara enggak sengaja ketemu, tiba-tiba kita jadi temen. Convenient."

"What do you expect? Kita harus pukul-pukulan dulu baru kita temenan?"

"No. It's just. You make it sounds so simple."

Taya tertawa.

"Kenapa harus dibikin rumit?" 

"Karena buat aku, kamu itu enggak sesederhana itu."

Taya terdiam. Rian terdiam. Mereka berdua tahu apa artinya ini semua. Membuka kembali luka lama yang dulu pernah diam terpendam. Mungkin bukan hanya luka. Ada sedikit cinta yang mungkin tidak bisa padam.

"Kamu mau makan enggak?" Tanya Rian memecah kesunyian.

"Nah. Kebetulan. Aku juga lagi lapar banget."

"Dideket sini aku tahu tempat makan yang enak. Kamu suka pizza, kan?"

"Suka banget. Kamu kok masih inget sih aku suka pizza?" 

"I don't. Everybody loves pizza."

Taya memukul lengan Rian. Mereka berdua tertawa. Nostalgia merambat dengan lambat ke relung jiwa mereka. 

JALANAN

"Arya sama Laras nikah?" Rian terkejut setengah mati.

Taya tertawa, "Kamu kok kayak yang enggak percaya gitu sih?"

"Laras si kembang kampus. Arya si culun mampus." 

"Parah!" Tapi toh Taya tertawa.

Mereka berdua berjalan menyusuri trotoar. Berjalan di Jumat malam kota Jakarta yang ramai lancar.

"Anak angkatan kita tuh banyak banget yang udah nikah."  Jelas Taya.

"Termasuk kamu ya."

"Termasuk kamu juga kali."

"Aku kan belum official."

"Tetep aja."

Mereka berdua kembali terdiam. Ada damai yang tersembunyi, disetiap helai angin yang menyentuh nurani. Mereka berdua tahu ini takdir.

"Ba." Kata Taya. Ada bulir nostalgia di kata tersebut.

"Are you kidding?"

"Itu kan panggilan sayang aku buat kamu."

"Dahulu kala."

"5 tahun yang lalu. Enggak apa-apa kan aku ingin nostalgia sedikit, ba?"

"Nostalgia yang menyakitkan, bi."

Sebuah tawa pun akhirnya pecah diantara mereka berdua.

"Do you realize how ridiculous it sounds?" Mata Taya berair. Dia belum bisa sepenuhnya berhenti tertawa.

"Babi. Damn it. Siapa sih yang dulu bikin nama panggilan itu?" Rian mengusap air mata tawa yang berusaha keluar dari matanya. 

"Itu kamu yang bikin." Tuduh Taya.

"Masa? Aku udah lupa."

"Kamu apa sih yang inget. Kamu pasti lupa kita pernah pacaran berapa lama."

"3 Tahun. Kalau itu aku enggak akan pernah lupa."

"Kamu bakal lupa enggak ngundang aku ke nikahan kamu?"

"Biar kata aku inget juga aku enggak akan ngundang kamu."

Taya memukul lengan Rian.

"Kok kamu jahat sih?" 

"Kamu juga enggak ngundang aku ke nikahan kamu."

"Aku undang kamu."

"Mana ada."

"Lewat facebook."

"I don't use facebook anymore."

"Mana aku tahu!"

RESTORAN 

PIP!

"Sayang, kamu dimana? sudah pulang? sudah makan?"

"Baru beres, sayang. Aku sekarang lagi makan sama temen."

"Oke sayang. Kalau kamu sudah pulang kabarin ya."

Taya tersenyum simpul, "Romantis banget."

"Sirik ya enggak ditanyain sama suami kamu."

"Biasa aja. By the way, Kalian sudah pacaran berapa lama?"

"Dua Tahun."

"Dua Tahun"

"Kenapa emang?"

"Enggak apa-apa. She must be the one, then."

"Mungkin." 

"Kok masih 'mungkin'? You're about to marry her, you know."

"Maybe because I still think that you're the one." Ucapan Rian begitu singkat, padat, dan jelas. 

Taya terdiam. Tidak tahu harus berbuat apa. Mulutnya seakan disegel. Dibungkam oleh perkataan yang sunyi.

"Aku masih belum tahu kenapa dulu kamu pergi."

 Dalam setiap ucapannya Rian sedang mencari sesuatu. Mencari sebuah kunci untuk menutup lukanya yang sudah lama dibiarkan terbuka.

"Does it really matter?" Taya merasa terpojok. 

"It does."

"Kenapa?"

"Karena kamu cuma pergi gitu aja. Enggak ada alasan. Enggak ada angin. Enggak ada kabar. Kamu mungkin enggak sadar, tapi waktu itu kamu hancurin aku, Taya. You destroy me completely."

Taya masih terdiam. Belum tahu harus menjawab apa. Dia ingin berkata sesuatu, namun lidahnya kelu.

"Terus tiba-tiba kamu datang. Bertindak seolah enggak pernah terjadi apa-apa. Mungkin mudah buat kamu. Tapi buat aku itu siksaan. Kamu membuka  sesuatu yang dulu sempat aku ikhlasin. Aku ini sudah ikhlas, Taya. Tapi kamu datang, sekarang semua itu---ya hancur!"

"Kamu mau tahu kenapa aku pergi?"

"Yes. Please, tell me. Bebaskan gue dari penderitaan yang berkepanjangan ini." Kata Rian sambil mengangkat kedua tangannya ke udara, seperti sedang berdoa.

"Lebay." Taya tertawa.

Rian juga ikut tertawa.  "Harus ada humor disetiap momen hidup kita."

"True."

"Terus, kenapa kamu pergi?"

Taya terdiam sejenak, menimbang-nimbang emosi dan reaksi Rian yang tidak bisa diprediksi.

"5 tahun loh, Rian. Masa kamu belum move-on? Kamu pasti lagi bercanda ya?"

"5 tahun loh, Taya. Aku tahu kamu masih suka sama aku."

"Nothing changes. Of course, I still like you."

"The feeling is mutual. Then, why do you left?"

"Because it doesn't matter why I left! Sekarang yang penting kamu sama aku ada disini. Kita berdua temenan lagi. Kita berdua ngobrol lagi. We finally act like a goddamn human being again!"

"Kamu tahu kita berdua enggak bisa cuma jadi sekadar temen. We like each other too damn much."

Taya terdiam. Dia tahu Rian benar.

"Kita bisa enggak pura-pura aja temenan? Pretend that we're fine. Pretend that we're--you know, friends. Happy for each other. Itu permintaan terakhir aku sebagai mantan kamu." Kata Taya memecah kesunyian.

"Bisa. Tapi kita enggak bisa terus-terusan ketemu kaya gini. Nanti lama-lama malah kamu yang aku kawinin"

Taya sontak tertawa, "Setuju."

"Tanggal 14 Februari."

"Ada apa di hari valentine?"

"Tanggal nikahan aku. Kamu harus datang. Itu permintaan terakhir aku sebagai mantan kamu."

"Aku pasti datang."

RING!

Ponsel Taya berbunyi, "Suami" Kata Taya setengah berbisik.

Taya langsung menjauh pergi, mengangkat telpon dari suaminya. Pergi ke sebuah sudut yang tidak akan pernah terjangkau oleh Rian. Membentuk sebuah jarak tak kasat mata yang jauhnya bagai ratusan ribu tahun cahaya.

Rian merogoh sakunya, mengambil ponselnya dan mengetik beberapa kata di layar.

"Sayang, kamu sudah tidur?"

PIP!

Tidak berapa lama kemudian sebuah pesan mendarat di ponsel Rian.

"Belum sayang. Kenapa?"

"Aku kesana ya. Aku kangen."

"Lebay ih. Kita kan baru makan siang bareng tadi."

"Kalau aku enggak lebay. Kamu enggak akan mau jadi istri aku kan?"

"Hehe, iya deh. Kesini aja. Aku tunggu."

Taya kemudian kembali ke tempat duduknya.

"Calon istri?" Tanya Taya.

Rian mengangguk, "Shall we go?"

"Yes, we shall."

Mereke berdua pun pergi. Tidak ada ucap perpisahan. Tidak ada kata penuh perasaan.

Hari itu adalah hari ini.

Tidak ada komentar: