Kamis, 22 Agustus 2013

Di Angka 12

"Saat jarum jam mendarat di angka 12 kamu bebas, Dul."

Mendarat di angka 12

Opsir Hamid.  Siapa sangka bahwa pria kekar berkumis baplang ini bisa begitu puitis sekaligus romantis?

"Keluarga kamu kemana, Dul?"

Mereka sudah enggak peduli sama saya pak bos.

Tapi mulutku entah kenapa tidak tega untuk mengeluarkan kata-kata tersebut.

"Katanya sih mau datang kesini, pak bos." Ucap lidahku yang bohong, "Tapi enggak tahu deh."

Opsir Hamid menatap wajahku dengan seksama, jari jemarinya bergerak luwes memilin kumisnya yang lebat.

"Dul" Kata Opsir Hamid.

"Iya, pak bos?"

"Jangan balik lagi kesini ya, Dul."

Aku mengangguk. Aku menahan keinginan kuat untuk menangis. Opsir Hamid sudah seperti ayahku sendiri. Membimbingku, membawaku keluar dari jurang yang gelap.

"Kamu orang baik, Dul. Nanti kamu pulang, kamu minta maaf sama keluarga kamu."

Aku mengangguk lagi. Mataku sudah basah.

"Keluarga itu mutiara. Jangan lupa."

Ah, jatuh sudah air mata.

7 JAM SEBELUM RESEPSI

Gerbang lapas Surya Sudirman akhirnya terbuka. Begitu perlahan. Seakan ingin menahanku untuk pulang.

12 Tahun. Jarang aku melihat pemandangan di balik gerbang lapas ini. Dunia diluar lapas adalah hal yang aneh bagiku. Seperti sebuah dunia lain yang tidak tersentuh oleh nalar. Planet aneh yang belum terjamah oleh pandangan.

Cahaya matahari menembus dengan liar dari balik gerbang. Bukan lagi gelap yang menungguku pulang.

Seorang pria melambaikan tangannya. Sebuah wajah familiar.

"Gimana rasanya jadi orang merdeka?" Tanya Edy. Selalu ceria seperti biasa.

"Rasanya luar biasa bung Edy." Jawabku sambil tersenyum simpul.

Aku langsung memeluk sahabatku. Hanya dia yang paling "rajin"  mengunjungiku. Setiap bulan dia selalu datang berkunjung. Tidak pernah lupa.

"Berarti sudah saatnya untuk kembali menumbuhkan rambutmu yang gundul itu toh?" Kata Edy sambil menepuk-nepuk kepalaku yang plontos.

"Rambut gundulku ini sudah menjadi semacam trademark, bung" Ujarku sambil tertawa kecil.

Sejenak Edy terdiam. Ada kata yang ingin dia ucapkan namun enggan dia utarakan.

"Kenapa bung?" Tanyaku.

"Nala menikah hari ini." Jawabnya singkat.

"Aku tahu." Ucapku. Tidak kalah singkat.

"Ada niat untuk datang?"

"Niat sih ada."

"Terus?"

"Ya enggak ada terus. Aku malu, bung."

"Kenapa harus malu?"

"Aku ini mantan napi. Aku cuma bakal membuat Nala malu."

Edy menggelengkan kepalanya.

"Kamu itu ayahnya Nala. Ayah macam apa yang tidak datang ke pernikahan anaknya?"

"12 tahun, bung. 12 tahun aku tidak bertemu Nala. Nala masih 10 tahun terakhir kali aku bertemu dengan dia. Nala juga pasti sudah lupa denganku."

"Itu kan karena mantan istrimu yang tidak memperbolehkan Nala bertemu denganmu."

"Sama saja, bung. Nala juga pasti malu."

Edy membungkam. Seakan menunggu aku untuk berubah pikiran. Tidak berapa lama kemudian dia merogoh sesuatu dari saku jaketnya. Ditangannya sekarang ada sebuah surat. Surat yang belum terbuka.

"Ini surat untukmu." Kata Edy.

"Dari siapa?"

"Anakmu." Jawab Edy singkat sambil menyerahkan surat itu ketanganku.

Edy benar. Ini adalah surat dari Nala untukku.

Aku terdiam. Tidak bisa bergerak. Tenggorokanku kering. Lidahku kelu. Ini adalah kata-kata yang diucapkan Nala padaku.

Aku perlahan membuka segelnya, kemudian mengeluarkan secarik kertas putih yang ada di dalamnya.

Apa yang ingin Nala katakan padaku?

Aku takut. Tapi akhirnya aku memberanikan diri untuk membaca rangkaian paragraf yang ada di surat ini:

Apa kabar pa?

Nala harap papa baik-baik saja. 

Pertama-tama Nala ingin minta maaf sama papa. Nala enggak pernah sekali pun mengunjungi papa disana. Semoga papa mengerti, Nala tidak pernah diijinkan sama mama untuk pergi bertemu papa.

Jujur, Nala kangen sama papa. 

Nala kangen sama sup ayam buatan papa. Masih ingat? Papa suka buatin Nala sup ayam saat Nala lagi sakit flu. Sampai sekarang belum ada yang bisa bikin sup ayam se-enak buatan papa.

Nala kangen sama cerita papa. Setiap malam sebelum Nala tidur, papa selalu cerita. Nala selalu ingat dengan petualangan si Fulan mengarungi 7 negara. Tahu enggak pa? Setiap papa cerita tentang si Fulan, Nala selalu mimpi sedang berpetualang dengan si Fulan. Mengalahkan naga, menyelamatkan putri. Cerita papa selalu bikin mimpi Nala jadi lebih indah.

Nala kangen sama suara papa. "Papa enggak bakal biarin cowok manapun deketin Nala." Masih ingat enggak pa, papa dulu suka ngomong itu? 

Nala kangen sama Jenggot papa yang biasa Nala mainin. 

Nala kangen sama tangan papa yang hangat.

Nala kangen pa.

Jujur, Nala sempat kecewa saat papa dipenjara. Nala sempat malu. 

Tapi Nala ingat bahwa enggak ada manusia yang sempurna. 

Nala enggak pernah lupa sama apa yang sudah papa perbuat. Tapi Nala yakin bahwa manusia bisa berubah. Nala yakin bahwa papa itu orang yang baik, papa pasti bisa berubah.

Nala sekarang sudah siapa untuk bertemu lagi dengan papa. 

Jangan lupa datang ke pernikahan Nala ya, pa? 

Nala tunggu.

Ah, jatuh sudah air mata.

4 JAM SEBELUM RESEPSI

"Saya ingin minta maaf, Nina." Ujarku.

Aku berada dirumahku yang dulu, sekarang sudah menjadi milik mantan istriku dan suaminya yang baru. Aku adalah tamu tidak diundang, lebih tepatnya tamu yang tidak diharapkan.

"Untuk apa minta maaf?" Kata mantan istriku. "Nasi sudah jadi bubur, mas."

Aku hanya bisa tertunduk diam. Aku tidak berani menatap wajah mantan istriku.

"Kamu pikir cuma kamu yang menderita, mas? Kamu tahu enggak neraka yang harus Nala dan saya lalui setelah kamu dipenjara?

Aku menggelengkan kepala. Masih tertunduk.

"Saya difitnah dan dicaci-maki, mas. Istri koruptor, pelacur uang haram, pengkhianat negara. Rumah ini hampir setiap hari dilempari batu, dicoret, diludahi, dikencingi. Banyak orang yang datang kesini mengancam untuk membakar rumah ini! Mereka bilang ini rumah hasil uang haram. Mereka bilang saya kaki tangan koruptor!"

Aku terdiam tidak bisa berkata apa-apa

"Wartawan datang kesini setiap hari, 2 minggu saya dan Nala enggak bisa keluar. Kami berdua ketakutan diteror oleh wartawan dan orang-orang."

Kemudian sunyi kembali. Aku masih belum berani mengangkat kepala.

"Saya masih bisa bertahan. Saya masih kuat. Tapi kamu tahu apa yang terjadi dengan Nala?"

Aku menggeleng.

"Nala setiap hari dihina, diejek, dicaci-maki di sekolahnya. Nala sampai takut pergi ke sekolah! Kamu tahu Nala pernah masuk rumah sakit karena kepalanya pernah dilempar batu? Umur Nala masih 10 tahun, mas! Dia enggak pantas menerima semua hal itu!

Seandainya aku bisa mengulang semua ini.

"Kamu enak bisa diam dipenjara, selamat dari serangan dunia luar. Kami mas yang harus menjalani siksaan! Siksaan yang bahkan bukan kami sendiri yang perbuat!"

Aku kembali menangis. Tidak tahan mendengar semua ini.

"Saya enggak butuh permintaan maaf dari kamu. Saya sudah ikhlas. Kalau kamu mau minta maaf, minta maaf sana sama Nala."

Seandainya aku bisa kembali. Seandainya.

2 JAM SEBELUM RESEPSI

"Iya pa, Nala maafin." Kata Nala sambil tersenyum.

Aku bingung. Semudah itu dia memaafkan diriku.

"Kenapa, Nala?" Tanyaku.

"Kenapa apanya, pa?"

"Kenapa kamu mudah sekali memaafkan papa?"

Nala kembali tersenyum.

"Kenapa harus sulit?"

Aku tidak tahu harus menjawab apa.

"Awalnya memang susah, pa. Semua orang jadi benci dan jahat sama Nala. Setiap hari, Nala takut pergi ke sekolah. Setiap pulang sekolah pasti Nala selalu nangis. Dulu Nala benci banget sama papa. Papa yang bikin hidup Nala jadi menderita. Tapi lama kelamaan semua kembali biasa. Nala terbiasa dengan semua cacian dan makian, Nala terbiasa dengan kesendirian, Nala jadi terbiasa sama semua hal."

"Kamu enggak pantas dapat semua perlakuan itu, Nala."

"Betul. Tapi Nala enggak punya pilihan. Nala harus bertahan"

Aku kembali tertunduk. Aku merasa bersalah luar biasa.

"Enggak ada yang sia-sia di dunia, pa. Justru terkadang Nala bersyukur, berkat perlakuan orang-orang sama Nala. Nala jadi orang yang kuat. Selalu ada makna dan pelajaran dalam semua hal. "

Nala menyentuh pundakku perlahan.

"Sekarang yang penting papa sudah kembali. Sekarang kita bisa mengulang lagi semua dari awal."

Nala tersenyum Aku menangis.

"Maafin papa, Nala" Kataku.sambil menangis.

"Iya pa, Nala maafin."

Nala pun kembali tersenyum.


Tidak ada komentar: